Membaca shalawat
untuk Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam adalah ibadah yang agung dan
merupakan salah satu bentuk kecintaan kepada Nabi shallallâhu 'alaihi wa
sallam sekaligus menjadi faktor dominan untuk menggapai syafaat Nabi
shallallâhu 'alaihi wa sallam di hari Kiamat kelak. Perintah kepada umat
Islam untuk membaca shalawat untuk Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam
datang setelah Allâh Ta'âla memberitahukan bahwa Dia bershalawat bagi
Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam sebagaimana firman-Nya:
Sesungguhnya Allâh dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi.
Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi
dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya
(QS. al-Ahzâb/33:56)
Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi
dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya
(QS. al-Ahzâb/33:56)
Ayat di atas tidak
menegaskan satu bentuk teks shalawat tertentu untuk dibaca bila seorang
Muslim hendak membaca shalawat untuk Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi
wa sallam. Namun demikian, terdapat pelajaran yang sangat berharga dari
sebuah riwayat dalam Shahih al-Bukhâri no. 2497 yang disampaikan oleh
Sahabat yang bernama Ka’b bin Ujrah radhiyallâhu'anhu. Sahabat
mulia ini menceritakan bahwa para Sahabat pernah menanyakan kepada Nabi
shallallâhu 'alaihi wa sallam tentang bagaimana bershalawat kepada
beliau.
Beliau menjawab dengan mengatakan:
“Katakanlah:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّدٍ
كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّدٍ
كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيد
Inilah kaifiyah bershalawat yang diajarkan Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam kepada para Sahabat radhiyallâhu'anhum
sebagai jawaban atas pertanyaan mereka mengenai cara bershalawat untuk
beliau. Maka pantas bila disebut sebagai lafazh paling afdhal dalam
bershalawat.
Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullâh mengatakan:
“Apa yang disampaikan Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam kepada para Sahabat radhiyallâhu'anhum
tentang kaifiyah (dalam membaca shalawat) ini setelah mereka
menanyakannya, menjadi petunjuk bahwa itu adalah teks shalawat yang
paling utama karena beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam tidaklah
memilih bagi dirinya kecuali yang paling mulia dan paling sempurna.”
(Fathul Bâri 11/66)
Untuk itu, akan lebih
baik bila lafazh shalawat ini yang diamalkan dalam membaca shalawat
untuk Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam, bukan lafazh-lafazh shalawat
susunan seseorang, meskipun bukan larangan untuk menyusun bentuk teks
shalawat sendiri.
Shalawat-shalawat selain yang diajarkan oleh Nabi
shallallâhu 'alaihi wa sallam terkadang tidak bersih dari kekeliruan,
baik dalam pemilihan bahasa, dan ini yang paling parah
kesalahan dalam akidah. Tentu sangat kontradiktif, saat seseorang
membaca suatu teks shalawat yang bukan dari Rasûlullâh shallallâhu
'alaihi wa sallam dan berharap pahala dari Allâh Ta'âla dan menggapai
syafaat Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam di akherat, namun ia
melakukannya dengan membaca sesuatu yang mengandung kesyirikan ataupun
sanjungan yang sangat dibenci oleh beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam.
Bukan pahala dan syafaat yang ia peroleh, sebaliknya kemurkaan yang
akan menghampirinya.
Anehnya, sebagian
masyarakat lebih condong mengamalkan shalawat-shalawat selain yang dari
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam dan meyakini akan keutamaan dan
khasiatnya, memperlakukannya seperti membaca teks dari wahyu dengan
menjadikannya sebagai wirid rutin dan mengajak orang untuk
mengamalkannya. Bila demikian, apa yang disebut bid’ah (membuat perkara
baru dalam agama) telah terjadi. Jelas ini sebuah kesalahan di atas
kesalahan yang tidak boleh dibiarkan. Harus ada langkah nyata untuk
mencerahkan umat dengan menyampaikan kepada mereka hal-hal yang
bersumber dari Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam dan menegaskan bahwa
beliau tidak menyukai perkara-perkara baru dalam agama.
Allahu'alam