Tampilkan postingan dengan label Kajian. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kajian. Tampilkan semua postingan

Antara CINTA dan BENCI

Sesungguhnya, dalam kehidupan sehari hari kita berusaha untuk membahagiakan setiap orang,dengan berharap kita di cintai, tetapi kenyataanya kita tidak kan bisa membahagiakan semua orang yang kita harapkan, kenapa???

Alasan pertama
parameter kebahagiaan yang akan menumbuhkan rasa cinta bagi setiap orang berbeda beda, sesuai dengan apa yang ia pikirkan dan lingkungan yang membentuk sikap kesehariannya.

Alasan kedua
Kebahagiaan itu ada yang bersifat materi atau non materi, yang kualitatif atau kuantitatif, juga kebahagiaan yang esaat atau yang kekal.

Jangan berharap kita akan mampu membahagiakan semua orang, dan bersiaplah kecewa ketika hal itu tidak akan pernah terjadi..
Dalam keseharian, begitu mudah kita dapati fenomena yang menunjukan perseteruan abadi antara kebaikan dan keburukan, kesantunan melawan kemarahan, dan keshalihan melawan kemaksiatan. Kita selalu dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah dan mengharuskan kita untuk memilih salah satu dari hal tersebut, melakukan kebaikan atau kejahatan, atau sebaliknya.
Ketika kita melakukan kebaikan, maka orang orang yang sama berbuat kebaikan dengan senrinya akan menaruh rasa cinta kepada kita dan orang-orang yang berbuat buruk akan membenci kita, begitu juga sebaliknya.
Memang suatu hal yang wajar bila kita ingin selalu di cinta, disayangi, dan ingin di terima oleh semua orang, semua kalangan, semua lapisan masyarakat dimana pun kita berada. Tapi kita harus ingat hal tersebut tidak akan pernah terjadi sebab tidak semua orang bisa mencintai dan menerima kita dan tidak emua orang membenci apa yang kita perbuat.
Kemudian semua itu dikembalikan kepada kita, apakah kita akan dicintai dalam keadaan berbuat baik, atau berlaku maksiat??
Allah SWT dengan indahnya mengajarkan kita didalam QS Asy syam 
"maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya,  sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya" Wallahu alam 

Menjadi wanita paling bahagia

     Bahagia karena berhijab,sesungguhnya dalam gairahku saat berhijab ada perlindungan,betapa aku akan terjaga, karena tubuhku bak mutiara. Semakin mahal mutiara l, adalah yang tidak tersentuh dan terbayang dalam keruh kotornya benak. Dan aku ingin menjadi mutiara yang paling mahal. Walaupun aku harus sendiri dengan ketentramanku di dalam samudra yang luas. Dan aku ingin tersucikan dari godaan dan fitnah yang merupakan aromaku. Maha suci Allah SWT dengan firman-nya,
"Hai Nabi, katakanlah kepada istri istrimu, anak anak perempuanmu dan istri orang-orang beriman, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Karena mereka yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"(Al Azhar :53)
Hadist Rasulullah Saw
"Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih aku takuti, melainkan fitnah yang diterima lelaki karena wanita:(HR.Bukhari).

Sebagian kaumku berkata: "begitu nikmat bebas kupergi, bebas kemana yang aku suka dan tidak ada yang melarang". Andaikata mereka tahu, tatkala mereka berdandan dan kemudian keluar rumah sendiri tanpa hijab dan mahramnya, semakin kusam dan pudar kecantikannya,aus dan kemudian usang bagaikan barang bekas yang dicampakkan. Karena mereka tidak sadar kecantikan lahir dan batin itu mulai luntur,sebanding dengan semakin seringnya seorang wanita keluar rumah dan semakin biasanya wajah dan tubuhnya di pandang lelaki yang bukan mahramnya.
"....dan hendaklah kamu tetap dirumahmu dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang jahiliyah yang dulu. Dan dirikanlah sholat,tunaikan zakat dan taatilah Allah dan Rosul-Nya....."(Al-Ahzab 33-34).

Bahagia bersuami yang Sholih, wanita yang shalihah, dilingkungan yang shalih, niscaya ia akan bahagia dengan izin Allah ta'ala sampai until Jannah...Aminn

Hukum Khitan untuk wanita

Khitan bagi wanita juga disyariatkan sebagaimana halnya bagi pria. Memang, masih sering muncul kontroversi seputar khitan bagi wanita, baik di dalam maupun di luar negeri. Perbedaan dan perdebatan tersebut terjadi karena berbagai alasan dan sudut pandang yang berbeda. Yang kontra bisa jadi karena kurangnya informasi tentang ajaran Islam, kesalahan penggambaran tentang khitan yang syar’I bagi wanita, dan mungkin juga memang sudah antipati terhadap Islam. Lepas dari kontroversi tersebut, selaku seorang muslim, kita punya patokan dalam menyikapi segala perselisihan, yaitu dikembalikan kepada Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya.

فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Hal itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisa’: 59)

Setelah kita kembalikan kepada Allah  Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya, serta telah jelas apa yang diajarkan oleh Allah  Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya, kewajiban kita adalah menerima ajaran tersebut sepenuhnya dan tunduk sepenuhnya dengan senang hati tanpa rasa berat. Allah  Subhanahu wata’ala berfirman,

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Sesungguhnya jawaban orangorang mukmin, apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukumi (mengadili) di antara mereka ialah ucapan, “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orangorang yang beruntung. (an-Nur: 51)
Tentang sunat bagi wanita, tidak diperselisihkan tentang disyariatkannya. Hanya saja para ulama berbeda pendapat, apakah hukumnya hanya sunnah atau sampai kepada derajat wajib. Pendapat yang kuat (rajih) adalah wajib dengan dasar bahwa ini adalah ajaran para nabi sebagaimana dalam hadits,

الْفِطْرَةُ خَمْسٌ -أَوْ خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ الْخِتَانُ، وَا سْالِْتِحْدَادُ، وَنَتْفُ الْإِبْطِ، وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ وَقَصُّ الشَّارِبِ

“Fitrah ada lima—atau lima hal termasuk fitrah—: khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, menggunting kuku, dan menggunting kumis.” (Sahih, HR. al- Bukhari dan Muslim)
Fitrah dalam hadits ini ditafsirkan oleh ulama sebagai tuntunan para nabi, tentu saja termasuk Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam, dan kita diperintah untuk mengikuti ajarannya. Allah  Subhanahu wata’ala berfirman,

ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۖ

Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), “Ikutilah agama Ibrahim, seorang yang hanif.” (an-Nahl: 123)


Alasan yang kedua, ini adalah pembeda antara muslim dan kafir (nonmuslim). Pembahasan ini dapat dilihat lebih luas dalam kitab Tuhfatul Maudud karya Ibnul Qayyim rahimahullah dan Tamamul Minnah karya asy-Syaikh al-Albani rahimahullah.

Bagian Manakah yang Dikhitan?

Ini adalah pembahasan yang sangat penting karena hal inilah yang menjadi sebab banyaknya kontroversi. Dari sinilah pihak-pihak yang kontra memandang sinis terhadap khitan untuk kaum wanita. Perlu diingat, jangan sampai kita membenci ajaran agama Islam dan berburuk sangka terhadapnya, lebihlebih jika kita tidak tahu secara benar tentang ajaran Islam dalam hal tersebut, termasuk masalah ini. Perlu diketahui, khitan wanita telah dikenal di berbagai negeri di Afrika, Asia, dan wilayah yang lain. Di Afrika dikenal istilah khitan firauni (khitan ala Fir’aun) yang masih berlangsung sampai sekarang. Karena sekarang banyak pelakunya dari muslimin, pihak-pihak tertentu memahami bahwa itulah ajaran Islam dalam hal khitan wanita, padahal yang melakukan khitan firauni bukan hanya muslimah. Khitan tersebut sangat sadis dan sangat bertentangan dengan ajaranajaran Islam.

Seperti apakah khitan firauni tersebut? Ada beberapa bentuk:

1 . Dipangkas kelentitnya (clitoridectomy).

2. Ada juga yang dipotong sebagian bibir dalam vaginanya.

3. Ada juga yang dijahit sebagian lubang tempat keluar haidnya.

Sebuah pertanyaan diajukan kepada al-Lajnah ad-Daimah.

Kami wanita-wanita muslimah dari Somalia. Kami tinggal di Kanada dan sangat tertekan dengan adat dan tradisi yang diterapkan kepada kami, yaitu khitan firauni, yang pengkhitan memotong klitoris seluruhnya, dengan sebagian bibir dalam kemaluan dan sebagian besar bibir luar kemaluan. Itu bermakna menghilangkan organ keturunan yang tampak pada wanita, yang berakibat memperjelek vagina secara total. Setelahnya lubang dijahit total, yang diistilahkan dengan ar-ratq, yang mengakibatkan rasa sakit yang luar biasa bagi wanita saat malam pernikahan dan saat melahirkan. Bahkan karena hal itu, tidak jarang sampai mereka memerlukan operasi. Selain itu, hal ini juga mengakibatkan seksualitas yang dingin dan menyebabkan berbagai macam kasus medis, seorang wanita kehilangan kehidupan, kesehatan, atau kemampuannya berketurunan. Saya akan melampirkan sebagian hasil studi secara medis yang menerangkan hal itu. Kami ingin mengetahui hukum syar’i tentang perbuatan ini. Sungguh, fatwa Anda semua terkait dengan masalah ini menjadi keselamatan banyak wanita muslimah di banyak negeri. Semoga Allah  Subhanahu wata’ala memberikan taufik kepada Anda semua dan memberikan kebaikan. Semoga Allah Subhanahu wata’ala menjadikan Anda sekalian simpanan kebaikan bagi muslimin dan muslimat.

Jawab: Apabila kenyataannya seperti yang disebutkan, khitan model seperti yang disebutkan dalam pertanyaan tidak diperbolehkan karena mengandung mudarat yang sangat besar terhadap seorang wanita. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ ضَرَرَ وَ ضِرَارَ

“Tidak boleh memberikan mudarat.”

Khitan yang disyariatkan adalah dipotongnya sebagian kulit yang berada di atas tempat senggama. Itu pun dipotong sedikit, tidak seluruhnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada pengkhitan, “Apabila kamu mengkhitan, potonglah sedikit saja dan jangan kamu habiskan. Hal itu lebih mencerahkan wajah dan lebih menyenangkan suami.” (HR. al-Hakim, ath-Thabarani, dan selain keduanya) Allah  Subhanahu wata’ala lah yang memberi taufik. Semoga Allah l memberikan shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, dan para sahabatnya. (Tertanda: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz [Ketua], Abdul Aziz Alu Syaikh [Wakil Ketua], Abdullah Ghudayyan [Anggota], Shalih al-Fauzan [Anggota], dan Bakr Abu Zaid [Anggota] fatwa no. 20118)

Dalam pandangan ulama Islam dari berbagai mazhab, yang dipotong ketika wanita dikhitan adalah kulit yang menutupi kelentit yang berbentuk semacam huruf V yang terbalik. Dalam bahasa Arab bagian ini disebut qulfah dan dalam bahasa Inggris disebut prepuce. Bagian ini berfungsi menutupi klitoris atau kelentit pada organ wanita, fungsinya persis seperti kulup pada organ pria yang juga dipotong dalam khitan pria. Khitan wanita dengan cara semacam itu mungkin bisa diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan prepucectomy. Berikut ini kami nukilkan beberapa penjelasan para ahli fikih.

• Ibnu ash-Shabbagh rahimahullah mengatakan, “Yang wajib atas seorang pria adalah dipotong kulit yang menutupi kepala kemaluan sehingga terbuka semua. Adapun wanita, dia memiliki selaput (kulit lembut yang menutupi klitoris, -pen.) semacam jengger ayam yang terletak di bagian teratas kemaluannya dan berada di antara dua bibir kemaluannya. Itu dipotong dan pokoknya (klitorisnya) yang seperti biji kurma ditinggal (tidak dipotong).”

• Al-Mawardi rahimahullah berkata, “Khitan wanita adalah dengan memotong kulit lembut pada vagina yang berada di atas tempat masuknya penis dan di atas tempat keluarnya air kencing, yang menutupi (kelentit) yang seperti biji kurma. Yang dipotong adalah kulit tipis yang menutupinya, bukan bijinya.”

• Dalam kitab Hasyiyah ar-Raudhul Murbi’ disebutkan, “Di atas tempat keluarnya kencing ada kulit yang lembut semacam pucuk daun, berada di antara dua bibir kemaluan, dan dua bibir tersebut meliputi seluruh kemaluan. Kulit tipis tersebut dipotong saat khitan. Itulah khitan wanita.”

• Al-‘Iraqi rahimahullah mengatakan, “Khitan adalah dipotongnya kulup yang menutupi kepala penis seorang pria. Pada wanita, yang dipotong adalah kulit tipis di bagian atas vagina.” Dari kutipan-kutipan di atas, jelaslah kiranya seperti apa khitan yang syar’I bagi wanita.

Namun, ada pendapat lain dari kalangan ulama masa kini, di antaranya asy-Syaikh al-Albani, yaitu yang dipotong adalah klitoris itu sendiri, bukan kulit lembut yang menutupinya, kulup, atau prepuce. Sebelum ini, penulis pun cenderung kepada pendapat ini. Tetapi, tampaknya pendapat ini lemah, dengan membandingkan dengan ucapan-ucapan ulama di atas. Namun, pemilik pendapat ini pun tidak mengharuskan semua wanita dikhitan, karena tidak setiap wanita tumbuh klitorisnya. Beliau hanya mewajibkan khitan yang demikian pada wanita-wanita yang kelentitnya tumbuh memanjang. Ini biasa terjadi di daerahdaerah yang bersuhu sangat panas, semacam Sa’id Mesir (Epper Egypt), Sudan, dan lain-lain. Banyak wanita di daerah tersebut memiliki kelentit yang tumbuh, bahkan sebagian mereka tumbuhnya pesat hingga sulit melakukan ‘hubungan’. (Rawai’uth Thib al-Islami, 1/109, program Syamilah)

Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah khitan yang tidak syar’i, yaitu khitan firauni, khitan menurut pendapat yang lemah, dan khitan syar’i sebagaimana penjelasan ulama di atas. Oleh karena itu, tiada celah bagi siapa pun untuk mengingkari khitan yang syar’i, karena khitan yang syar’I bagi wanita sejatinya sama dengan khitan bagi pria. Tidak ada kerugian sama sekali bagi yang bersangkutan. Bahkan, wanita tersebut akan mendapatkan berbagai maslahat karena banyaknya hikmah yang terkandung. Di antaranya, dikhitan akan lebih bersih karena kotoran di sekitar kelentit akan mudah dibersihkan, persis dengan hikmah khitan pada kaum pria. Bahkan, khitan akan sangat membantu wanita dalam hubungannya dengan suaminya, karena dia akan lebih mudah terangsang dan mencapai puncak yang dia harapkan. Hikmah yang paling utama adalah kita bisa melaksanakan tuntunan para nabi  dan beribadah kepada Allah  Subhanahu wata’ala dengan melaksanakannya.

Yang aneh, orang-orang yang anti- Islam di satu sisi mendiskreditkan Islam dengan alasan khitan wanita, padahal khitan ini juga dilakukan di negeri nonmuslim, walau tidak dengan nama khitan. Bahkan, tindakan ini menjadi pengobatan atau solusi bagi wanita yang kesulitan mencapai orgasme, dan solusi ini berhasil. Pada 1958, Dr. McDonald meluncurkan sebuah makalah di majalah General Practitioner yang menyebutkan bahwa dia melakukan operasi ringan untuk melebarkan kulup wanita pada 40 orang wanita, baik dewasa maupun anak-anak, karena besarnya kulup mereka dan menempel dengan klitoris. Operasi ringan ini bertujuan agar klitoris terbuka dengan cara menyingkirkan kulup tanpa menghabiskannya. Dr. McDonald menyebutkan bahwa dirinya dibanjiri ucapan terima kasih oleh wanita-wanita dewasa tersebut setelah operasi. Sebab, menurut mereka, mereka bisa merasakan kepuasan dalam hubungan biologis pertama kali dalam kehidupannya.

Seorang dokter ahli operasi kecantikan di New York ditanya tentang cara mengurangi kulup klitoris dan apakah hal itu operasi yang aman. Dia menjawab, caranya adalah menghilangkan kulit yang menutupi klitoris. Kulit ini terdapat di atas klitoris, menyerupai bentuk huruf V yang terbalik. Terkadang kulit ini kecil/sempit, ada pula yang panjang hingga menutupi klitoris. Akibatnya, kepekaan pada wilayah ini berkurang sehingga mengurangi kepuasan seksual. Sesungguhnya memotong kulit ini berarti mengurangi penutup klitoris. David Haldane pernah melakukan wawancara—yang kemudian diterbitkan di majalah Forum UK di Inggris—dengan beberapa ahli spesialis yang melakukan penelitian tentang pemotongan kulup pada vagina. Di antara hasil wawancara tersebut sebagaimana berikut ini.

David Haldane melakukan wawancara dengan dr. Irene Anderson, yang menjadi sangat bersemangat dalam hal ini setelah mencobanya secara pribadi. Operasi ini dilakukan terhadapnya pada 1991 sebagai pengobatan atas kelemahan seksualnya. Ia mendapatkan hasil yang luar biasa sebagaimana penuturannya. Ia kemudian mempraktikkannya pada sekitar seratus orang wanita dengan kasus yang sama (kelemahan seksual). Semua menyatakan puas dengan hasilnya, kecuali tiga orang saja. (Khitanul Inats) Sungguh benar sabda Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para pengkhitan wanita saat itu,

إِذَا خَفَضْتِ فَأَشِمِّي وَلاَ تَنْهَكِي، فَإِنَّهُ أَسْرَى لِلْوَجْهِ وَأَحْظَى لِلزَّوْجِ

“Apabila engkau mengkhitan, potonglah sedikit saja dan jangan engkau habiskan. Hal itu lebih mencerahkan wajah dan lebih menguntungkan suami.” (HR. ath-Thabarani, dll. Lihat ash- Shahihah no. 722)

Sungguh, hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ini termasuk mukjizat yang nyata. Selaku seorang muslim, kita jelas meyakininya. Ringkas kata, orang-orang kafir pun mengakui kebenarannya. Selanjutnya kami merasa perlu menerangkan langkah-langkah pelaksanaan khitan wanita karena informasi tentang hal ini sangat minim di masyarakat kita, bahkan bisa dikatakan hampir tidak ada penjelasan yang mendetail. Yang ada hanya bersifatnya global, padahal informasi ini sangat urgen. Sebetulnya, rasanya tabu untuk menjelaskan di forum umum semacam ini. Namun, ini adalah syariat yang harus diketahui dengan benar, dan “Sesungguhnya Allah tidak malu dari kebenaran.” Kami menyadari bahwa kekurangan informasi dalam hal ini bisa berefek negatif yang luar biasa:

1. Anggapan yang negatif tehadap syariat Islam.

2. Bagi yang sudah menerima Islam dan ajarannya, lalu ingin mempraktikkannya, bisa jadi salah praktik (malapraktik), akhirnya sunnah ini tidak terlaksana dengan benar. Bahkan, bisa jadi terjerumus ke dalam praktik khitan firauni yang kita sebut di atas sehingga terjadilah kezaliman terhadap wanita yang bersangkutan, dan mungkin kepada orang lain.

Maka dari itu, sebelumnya kami mohon maaf. Kami hanya ingin menjelaskan langkah-langkah khitan. Jika ada kata-kata yang kurang berkenan, harap dimaklumi.

Tata Cara Pelaksanaan Khitan Wanita

1. Siapkan kejiwaan anak yang hendak dikhitan. Hilangkan rasa takut dari dirinya. Bekali orang tuanya dengan menjelaskan hukumnya dengan bahasa yang sederhana dan menyenangkan.

2. Sterilkan alat-alat dan sterilkan pula daerah yang hendak dikhitan.

3 . Gerakkan atau tarik qulfah (prepuce) ke belakang hingga terpisah atau tidak lekat lagi dengan ujung klitoris, hingga tampak pangkal atas prepuce yang bersambung dengan klitoris. Hal ini akan mempermudah pemotongan kulit bagian luar sekaligus bagian dalam prepuce tersebut tanpa melukai sedikit pun klitorisnya sehingga prepuce tidak tumbuh kembali. Apabila prepuce dan klitoris sulit dipisahkan, hendaknya khitan ditunda sampai hal itu mudah dilakukan.

4. Lakukan bius lokal pada lokasi— meski dalam hal ini ada perbedaan pendapat ulama—dan tunggu sampai bius itu benar-benar bekerja.

5. Qulfah ( prepuce) ditarik ke atas dari ujungnya menggunakan jepit bedah untuk dijauhkan dari klitoris. Perlu diperhatikan, penarikan tersebut diusahakan mencakup kulit luar dan kulit dalam prepuce, lalu dicapit dengan jepit arterial. Perlu diperhatikan juga, jangan sampai klitoris ikut tercapit. Setelah itu, potong kulit yang berada di atas pencapit dengan gunting bengkok, lalu biarkan tetap dicapit sekitar 5—10 menit untuk menghindari pendarahan, baru setelah itu dilepas. Jika terjadi pendarahan setelah itu, bisa dicapit lagi, atau bisa dijahit dengan senar 0/2 dengan syarat tidak bertemu dan menempel lagi antara dua sisi prepuce yang telah terpotong. Tutuplah luka dengan kasa steril dan diperban. Perban bisa dibuang setelah empat jam. Apabila terjadi pendarahan di rumah, tahan lagi dengan kapas dan konsultasikan ke dokter. Hari – hari berikutnya , jaga kebersihannya dengan air garam atau semacamnya. Sangat perlu diperhatikan, jangan sampai dua sisi prepuce yang telah terpotong bertemu lagi atau menyambung, atau bersambung dan menempel dengan klitoris. Semoga bermanfaat, walhamdulillah awwalan wa akhiran.

Kenapa karyawan muslim haram memakai atribut natal

Bismillahirrahmanirrahim

Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah. Shalawat dan salam atas Rasulullah –Shallallahu ‘Alaih Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.

Menjelang Natal pusat-pusat perbelanjaan ramai dengan pernak-pernik Natal. Bahkan, sejak awal bulan Desember pohon natal dengan hiasan lampu sudah bercokol di pintu masuk mal-mal. Pemandangan ini sangat kontras dengan jumlah penduduk negeri ini yang mayoritasnya muslim. Seolah-olah mayoritas penduduk Indonesia ini ikut merayakan hari besar agama Kristen dalam rangka memperingati kelahiran ‘Jesus’ yang mereka tuhankan itu.

Selain pohon Natal, kemeriahan hari Crismash ditandai dengan pernak-pernik Kostum Santaclaus (Sinterklas) berupa Jubah, baju, celana, topi, ikat pinggang dan janggut palsu. Anehnya, tidak sedikti yang mengenakannya adalah pekerja atau karyawan muslim. Entah terencana sebagai bagian Kristenisasi ataukah hanya untuk menarik perhatian pembeli semata, kebijakan tersebut telah menodai keyakinan umat muslim.

Di satu sisi, pekerja-pekerja muslim tersebut terlihat menikmati tampilannya yang aneh itu. Entah sadar ataukah tidak bahwa perbuatan yang menyerupai orang kafir tersebut diharamkan dalam Islam. Pastinya, tindakan seorang muslim tersebut bertentangan dengan akidah Islamnya.

Hakikat Natal

Hari raya Natal yang juga lazim disebut hari Crismash diyakini kaum Nasrani sebagai hari kelahiran al-Masih atau Jesus yang diklaim sebagai tuhan atau anak Tuhan. Sementara dalam akidah Islam, Al-Masih Isa bin Maryam adalah Nabi dan Rasul Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dia bukan anak Tuhan dan bukan Tuhan itu sendiri.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah sangat murka dengan tuduhan bahwa Dia menjadikan Isa sebagai putera-Nya; dan membantahnya melalui Firman-Nya dalam Al-Qur’an,

وَأَنَّهُ تَعَالَى جَدُّ رَبِّنَا مَا اتَّخَذَ صَاحِبَةً وَلَا وَلَدًا

“Dan bahwasanya Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami, Dia tidak beristri dan tidak (pula) beranak.” (QS. Al-Jin: 3)
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَنَّى يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُنْ لَهُ صَاحِبَةٌ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-An’am: 101)

Allah mengabarkan bahwa Dia Mahakaya tidak butuh kepada yang selain-Nya. Dia tidak butuh mengangkat seorang anak dari makhluk-Nya.

قَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا سُبْحَانَهُ هُوَ الْغَنِيُّ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ إِنْ عِنْدَكُمْ مِنْ سُلْطَانٍ بِهَذَا أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

“Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata: "Allah mempunyai anak". Maha Suci Allah; Dia-lah Yang Maha Kaya; kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Kamu tidak mempunyai hujjah tentang ini. Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” (QS. Yunus: 68)

Dalam akidah Islam sikap umat Kristiani yang telah menjadikan Isa putra Maryam sebagai Tuhan atau satu dari tiga oknum Tuhan adalah sikap lancang terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Di mana jika Allah punya anak maka ada selain Diri-Nya yang memiliki sifat Ketuhanan. Karena setiap anak anak itu mewarisi sifat yang dimiliki orang tuanya.

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلَّا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” (QS. Al-Maidah: 73)

Allah menggambarkan murkanya langit dan bumi atas perkataan umat Kristiani tersebut, hampir-hampir membuat langit pecah dan bumi terbelah karenanya.

"Dan mereka berkata: 'Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak'. Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar. Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba." (QS. Maryam: 88-93)

Oleh sebab itu, tidak boleh muslim yang meyakini Allah sebagai Tuhan yang Esa; tiada Tuhan yang benar selain Dia, dan meyakini Isa bin Maryam sebagai hamba Allah dan utusan-Nya ridha dan suka rela melakukan sesuatu yang memeriahkan perayaan yang berisi penghinaan dan kekufuran terhadap Allah tersebut.

Keyakinan Natal dan perayaannya bagian dari kemungkaran dan kebatilan. Hamba Allah yang beriman berlepas diri darinya dan tidak mau terlibat di dalamnya. Allah Ta'ala menyifati Ibadurrahman bersih dari semua itu:

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ

"Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu. . ." (QS. Al Furqaan: 72) 
Makna al Zuur, adalah hari raya dan hari besar kaum musyrikin sebagaimana yang dikatakan Ibnu Abbas, Abul 'Aliyah, Ibnu sirin, dan ulama lainnya dari kalangan sahabat dan tabi'in.

Memakai Atribut Natal : Tasyabbuh Haram

Dalil haramnya mengenakan atribut Natal yang salah satunya kostum Santa Klause karena perbuatan tersebut menyerupai orang kafir dalam mengagungkan keyakinan batil. Sedangkan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud dan dishahihkan Ibnu Hibban)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullaah dalam bukunya Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim Mukhalafah Ashab al-Jahim menyebutkan, “Menyerupai mereka dalam sebagian hari raya milik mereka menumbuhkan rasa senang pada hati mereka (kaum muslimin) terhadap keyakinan batil mereka.” Demikian ucapan beliau rahimahullah.

Dan barangsiapa melakukan perbuatan tersebut (memakai topi dan atribut Santaclause), maka ia berdosa, baik ia melakukannya sekedar pekerjaan yang menghasilkan uang, karena tidak enak dengan atasan atau sebab lainnya. Karena perbuatan tersebut termasuk bentuk mudahanan (penyepelan) terhadap agama Allah dan bisa menyebabkan teguhnya jiwa kaum kuffar dan membanggakan agama mereka. Wallahu A’lam
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah. Shalawat dan salam atas Rasulullah –Shallallahu ‘Alaih Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Menjelang Natal pusat-pusat perbelanjaan ramai dengan pernak-pernik Natal. Bahkan, sejak awal bulan Desember pohon natal dengan hiasan lampu sudah bercokol di pintu masuk mal-mal. Pemandangan ini sangat kontras dengan jumlah penduduk negeri ini yang mayoritasnya muslim. Seolah-olah mayoritas penduduk Indonesia ini ikut merayakan hari besar agama Kristen dalam rangka memperingati kelahiran ‘Jesus’ yang mereka tuhankan itu.
Selain pohon Natal, kemeriahan hari Crismash ditandai dengan pernak-pernik Kostum Santaclaus (Sinterklas) berupa Jubah, baju, celana, topi, ikat pinggang dan janggut palsu. Anehnya, tidak sedikti yang mengenakannya adalah pekerja atau karyawan muslim. Entah terencana sebagai bagian Kristenisasi ataukah hanya untuk menarik perhatian pembeli semata, kebijakan tersebut telah menodai keyakinan umat muslim.
Di satu sisi, pekerja-pekerja muslim tersebut terlihat menikmati tampilannya yang aneh itu. Entah sadar ataukah tidak bahwa perbuatan yang menyerupai orang kafir tersebut diharamkan dalam Islam. Pastinya, tindakan seorang muslim tersebut bertentangan dengan akidah Islamnya.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/aqidah/2014/12/09/34389/alasan-karyawan-muslim-haram-kenakan-atribut-natal/#sthash.5XCauYZv.dpuf

Bolehkah menerima hadiah dari hari raya orang kafir ????

Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh...
Bismillahirrahmanirrahim

Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.

Pada dasararnya dibolehkan memberi hadiah kepada orang kafir atau menerima hadiah dari mereka. Khususnya, jika disertai misi melunakkan hati mereka ke Islam.

Umar bin Khathab pernah memberikan hadiah sebuah baju kepada saudaranya yang musyrik semasa di Makkah." (HR. Al-Bukhari, no. 2619)

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah menerima hadiah dari sebagian orang kafir seperti dari Muqauqis dan selainnya.

Tetapi tidak boleh memberikan hadiah kepada orang kafir pada salah satu dari hari besar mereka, karena hal itu terhitung sebagai bentuk pengakuan dan kerja sama (ikut serta) dalam perayaan hari besar yang batil. Dan apabila hadiah itu berupa sesuatu yang digunakan untuk perayaan seperti makanan, lilin, dan semisalnya maka keharamannya tentu lebih besar. Sehingga sebagian ulama menghukuminya sebagai perbuatan kufur.

Bahkan seorang muslim tidak dibolehkan memberikan hadiah kepada muslim lainnya karena hari raya tersebut, sebagaimana yang telah disebutkan dalam pendapat ulama Hanafi.

    . . . tidak boleh memberikan hadiah kepada orang kafir pada salah satu dari hari besar mereka,

    karena hal itu terhitung sebagai bentuk pengakuan dan kerja sama (ikut serta) dalam perayaan hari besar yang batil . . .
Adapun menerima hadiah dari orang kafir di hari besar mereka, tidak apa-apa. Itu tidak terhitung sebagai ikut serta dan pengakuan akan hari raya mereka. Tapi harus diperhatikan, menerimanya atas dasar al-birr (bersikap baik), melunakkan hatinya dan mendakwahinya untuk masuk Islam.

Allah Ta'ala membolehkan berbuat baik dan adil terhadap orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin daam firman-Nya,

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

"Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada emerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Tetapi berbuat baik dan adil tidak berarti berkasih sayang dan mencintai. Karena tidak boleh mencintai dan berkasih sayang dengan orang kafir serta tidak menjadikannya sahabat dan teman dekat. Allah Ta'ala berfirman,

"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat) Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung." (QS. Al-Mujadilah: 22)

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu. . . ." (QS. Al-Mumtahanah: 1)
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya." (QS. Ali Imran: 118) dan masih banyak lagi dalil-dalil lain yang mengharamkan berkasih sayang dan berkawan karib dengan orang kafir.

Syaikhul Islam al-Harrani Rahimahullah berkata, "Adapun menerima hadiah dari mereka pada hari raya mereka maka telah kami jelaskan riwayat dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'Anhu, dibawakan hadiah Nairuz (tahun baru Persia) kepadanya, lalu ia menerimanya."

Diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, ada seorang wanita yang meminta kepada Aisyah. Ia berkata, "Pada kami ada wanita-wanita yang menyusui dari kalangan Majusi, mereka memiliki hari raya, lalu mereka memberikan hadiah kepada kami. Maka Aisyah menjawab: Adapun yang dsiembelih untuk acara hari tersebut maka janganlah kalian memakannya. Tetapi makanlah dari hasil tanaman mereka."

Dari Abu Barzah, ia memiliki tetangga orang-orang Majusi, mereka memberikan hadiah kepadanya pada hari Nairuz dan festifal mereka. Kemudian ia berkata kepada keluarganya: 'Jika berbentuk buah-buahan, maka makanlah. Dan yang selain itu maka jangan kalian memakannya.'

Semua ini menunjukkan hari besar keagamaan tidak berpengaruh untuk menolah hadiah dari orang-orang kafir. Bahkan pada dasarnya, menerima hadiah mereka itu hukumnya sama, baik pada saat hari raya mereka atau bukan. Sebabnya, dalam menerima hadiah tidak ada unsur menolong mereka atas kemeriahan syiar-syiar kekafiran mereka.

    . . . hari besar keagamaan tidak berpengaruh untuk menolah hadiah dari orang-orang kafir. . .

Ibnu Taimiyah memperingatkan, sembelihan ahli kitab pada dasarnya halal, kecuali apa yang mereka sembelih untuk perayaan hari rayanya, maka tidak boleh memakanya. Beliau berkata, "Sesungguhnya boleh memakan makanan ahli kita pada hari raya mereka, baik dengan jual-beli, hadiah, atau lainnya selain yang mereka sembelih untuk hari raya." (al-Iqtidha': 1/251)

Kemudian beliau menyebutkan riwayat dari Imam Ahmad yang berpendapat, tidak halal memakannya walau tidak disebut nama selain Allah Ta'ala atasnya. Beliau rahimahullah juga menguatkan kesimpulannya tersebut pada riwayat yang berasal dari Aisyah dan Abdullah bin Umar.

Pada ringkasnya, boleh menerima hadiah dari tetangga yang Nashrani pada hari raya mereka dengan beberapa syarat:

Pertama, hadiah ini tidak berupa sembelihan (daging hewan) yang disembelih untuk merayakan hari raya tersebut.

Kedua, hadiah tersebut tidak termasuk yang digunakan untuk bertasyabbuh pada hari raya mereka, seperti lilin, pakain sinterklaus, trompet, dan asesoris natal lainnya.

Ketiga, hendaknya dijelaskan kepada anggota keluarga muslim hakikat aqidah al-wala' dan bara' sehingga tidak tertanam rasa cinta terhadap hari raya ini atau berharap hadiah dari orang Kristen saat natal.

Perlu diingat, dalam menerima hadiah harus diniatkan untuk melunakkan hatinya dan membuat ia tertarik kepada Islam, bukan karena cinta dan sayang kepada mereka. Wallahu A’lam.
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Pada dasararnya dibolehkan memberi hadiah kepada orang kafir atau menerima hadiah dari mereka. Khususnya, jika disertai misi melunakkan hati mereka ke Islam.
Umar bin Khathab pernah memberikan hadiah sebuah baju kepada saudaranya yang musyrik semasa di Makkah." (HR. Al-Bukhari, no. 2619)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah menerima hadiah dari sebagian orang kafir seperti dari Muqauqis dan selainnya.
Tetapi tidak boleh memberikan hadiah kepada orang kafir pada salah satu dari hari besar mereka, karena hal itu terhitung sebagai bentuk pengakuan dan kerja sama (ikut serta) dalam perayaan hari besar yang batil. Dan apabila hadiah itu berupa sesuatu yang digunakan untuk perayaan seperti makanan, lilin, dan semisalnya maka keharamannya tentu lebih besar. Sehingga sebagian ulama menghukuminya sebagai perbuatan kufur.
Bahkan seorang muslim tidak dibolehkan memberikan hadiah kepada muslim lainnya karena hari raya tersebut, sebagaimana yang telah disebutkan dalam pendapat ulama Hanafi.
. . . tidak boleh memberikan hadiah kepada orang kafir pada salah satu dari hari besar mereka,
karena hal itu terhitung sebagai bentuk pengakuan dan kerja sama (ikut serta) dalam perayaan hari besar yang batil . . .
Adapun menerima hadiah dari orang kafir di hari besar mereka, tidak apa-apa. Itu tidak terhitung sebagai ikut serta dan pengakuan akan hari raya mereka. Tapi harus diperhatikan, menerimanya atas dasar al-birr (bersikap baik), melunakkan hatinya dan mendakwahinya untuk masuk Islam.
Allah Ta'ala membolehkan berbuat baik dan adil terhadap orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin daam firman-Nya,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
"Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada emerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (QS. Al-Mumtahanah: 8)
Tetapi berbuat baik dan adil tidak berarti berkasih sayang dan mencintai. Karena tidak boleh mencintai dan berkasih sayang dengan orang kafir serta tidak menjadikannya sahabat dan teman dekat. Allah Ta'ala berfirman,
"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat) Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung." (QS. Al-Mujadilah: 22)
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu. . . ." (QS. Al-Mumtahanah: 1)
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya." (QS. Ali Imran: 118) dan masih banyak lagi dalil-dalil lain yang mengharamkan berkasih sayang dan berkawan karib dengan orang kafir.
Syaikhul Islam al-Harrani Rahimahullah berkata, "Adapun menerima hadiah dari mereka pada hari raya mereka maka telah kami jelaskan riwayat dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'Anhu, dibawakan hadiah Nairuz (tahun baru Persia) kepadanya, lalu ia menerimanya."
Diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, ada seorang wanita yang meminta kepada Aisyah. Ia berkata, "Pada kami ada wanita-wanita yang menyusui dari kalangan Majusi, mereka memiliki hari raya, lalu mereka memberikan hadiah kepada kami. Maka Aisyah menjawab: Adapun yang dsiembelih untuk acara hari tersebut maka janganlah kalian memakannya. Tetapi makanlah dari hasil tanaman mereka."
Dari Abu Barzah, ia memiliki tetangga orang-orang Majusi, mereka memberikan hadiah kepadanya pada hari Nairuz dan festifal mereka. Kemudian ia berkata kepada keluarganya: 'Jika berbentuk buah-buahan, maka makanlah. Dan yang selain itu maka jangan kalian memakannya.'
Semua ini menunjukkan hari besar keagamaan tidak berpengaruh untuk menolah hadiah dari orang-orang kafir. Bahkan pada dasarnya, menerima hadiah mereka itu hukumnya sama, baik pada saat hari raya mereka atau bukan. Sebabnya, dalam menerima hadiah tidak ada unsur menolong mereka atas kemeriahan syiar-syiar kekafiran mereka.
. . . hari besar keagamaan tidak berpengaruh untuk menolah hadiah dari orang-orang kafir. . .
Ibnu Taimiyah memperingatkan, sembelihan ahli kitab pada dasarnya halal, kecuali apa yang mereka sembelih untuk perayaan hari rayanya, maka tidak boleh memakanya. Beliau berkata, "Sesungguhnya boleh memakan makanan ahli kita pada hari raya mereka, baik dengan jual-beli, hadiah, atau lainnya selain yang mereka sembelih untuk hari raya." (al-Iqtidha': 1/251)
Kemudian beliau menyebutkan riwayat dari Imam Ahmad yang berpendapat, tidak halal memakannya walau tidak disebut nama selain Allah Ta'ala atasnya. Beliau rahimahullah juga menguatkan kesimpulannya tersebut pada riwayat yang berasal dari Aisyah dan Abdullah bin Umar.
Pada ringkasnya, boleh menerima hadiah dari tetangga yang Nashrani pada hari raya mereka dengan beberapa syarat:
Pertama, hadiah ini tidak berupa sembelihan (daging hewan) yang disembelih untuk merayakan hari raya tersebut.
Kedua, hadiah tersebut tidak termasuk yang digunakan untuk bertasyabbuh pada hari raya mereka, seperti lilin, pakain sinterklaus, trompet, dan asesoris natal lainnya.
Ketiga, hendaknya dijelaskan kepada anggota keluarga muslim hakikat aqidah al-wala' dan bara' sehingga tidak tertanam rasa cinta terhadap hari raya ini atau berharap hadiah dari orang Kristen saat natal.
Perlu diingat, dalam menerima hadiah harus diniatkan untuk melunakkan hatinya dan membuat ia tertarik kepada Islam, bukan karena cinta dan sayang kepada mereka. Wallahu A’lam.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/aqidah/2014/12/24/34682/orang-kafir-kasih-hadiah-di-hari-besar-mereka-tak-apaapa-menerimanya/#sthash.qwwDtin3.dpuf
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Pada dasararnya dibolehkan memberi hadiah kepada orang kafir atau menerima hadiah dari mereka. Khususnya, jika disertai misi melunakkan hati mereka ke Islam.
Umar bin Khathab pernah memberikan hadiah sebuah baju kepada saudaranya yang musyrik semasa di Makkah." (HR. Al-Bukhari, no. 2619)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah menerima hadiah dari sebagian orang kafir seperti dari Muqauqis dan selainnya.
Tetapi tidak boleh memberikan hadiah kepada orang kafir pada salah satu dari hari besar mereka, karena hal itu terhitung sebagai bentuk pengakuan dan kerja sama (ikut serta) dalam perayaan hari besar yang batil. Dan apabila hadiah itu berupa sesuatu yang digunakan untuk perayaan seperti makanan, lilin, dan semisalnya maka keharamannya tentu lebih besar. Sehingga sebagian ulama menghukuminya sebagai perbuatan kufur.
Bahkan seorang muslim tidak dibolehkan memberikan hadiah kepada muslim lainnya karena hari raya tersebut, sebagaimana yang telah disebutkan dalam pendapat ulama Hanafi.
. . . tidak boleh memberikan hadiah kepada orang kafir pada salah satu dari hari besar mereka,
karena hal itu terhitung sebagai bentuk pengakuan dan kerja sama (ikut serta) dalam perayaan hari besar yang batil . . .
Adapun menerima hadiah dari orang kafir di hari besar mereka, tidak apa-apa. Itu tidak terhitung sebagai ikut serta dan pengakuan akan hari raya mereka. Tapi harus diperhatikan, menerimanya atas dasar al-birr (bersikap baik), melunakkan hatinya dan mendakwahinya untuk masuk Islam.
Allah Ta'ala membolehkan berbuat baik dan adil terhadap orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin daam firman-Nya,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
"Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada emerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (QS. Al-Mumtahanah: 8)
Tetapi berbuat baik dan adil tidak berarti berkasih sayang dan mencintai. Karena tidak boleh mencintai dan berkasih sayang dengan orang kafir serta tidak menjadikannya sahabat dan teman dekat. Allah Ta'ala berfirman,
"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat) Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung." (QS. Al-Mujadilah: 22)
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu. . . ." (QS. Al-Mumtahanah: 1)
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya." (QS. Ali Imran: 118) dan masih banyak lagi dalil-dalil lain yang mengharamkan berkasih sayang dan berkawan karib dengan orang kafir.
Syaikhul Islam al-Harrani Rahimahullah berkata, "Adapun menerima hadiah dari mereka pada hari raya mereka maka telah kami jelaskan riwayat dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'Anhu, dibawakan hadiah Nairuz (tahun baru Persia) kepadanya, lalu ia menerimanya."
Diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, ada seorang wanita yang meminta kepada Aisyah. Ia berkata, "Pada kami ada wanita-wanita yang menyusui dari kalangan Majusi, mereka memiliki hari raya, lalu mereka memberikan hadiah kepada kami. Maka Aisyah menjawab: Adapun yang dsiembelih untuk acara hari tersebut maka janganlah kalian memakannya. Tetapi makanlah dari hasil tanaman mereka."
Dari Abu Barzah, ia memiliki tetangga orang-orang Majusi, mereka memberikan hadiah kepadanya pada hari Nairuz dan festifal mereka. Kemudian ia berkata kepada keluarganya: 'Jika berbentuk buah-buahan, maka makanlah. Dan yang selain itu maka jangan kalian memakannya.'
Semua ini menunjukkan hari besar keagamaan tidak berpengaruh untuk menolah hadiah dari orang-orang kafir. Bahkan pada dasarnya, menerima hadiah mereka itu hukumnya sama, baik pada saat hari raya mereka atau bukan. Sebabnya, dalam menerima hadiah tidak ada unsur menolong mereka atas kemeriahan syiar-syiar kekafiran mereka.
. . . hari besar keagamaan tidak berpengaruh untuk menolah hadiah dari orang-orang kafir. . .
Ibnu Taimiyah memperingatkan, sembelihan ahli kitab pada dasarnya halal, kecuali apa yang mereka sembelih untuk perayaan hari rayanya, maka tidak boleh memakanya. Beliau berkata, "Sesungguhnya boleh memakan makanan ahli kita pada hari raya mereka, baik dengan jual-beli, hadiah, atau lainnya selain yang mereka sembelih untuk hari raya." (al-Iqtidha': 1/251)
Kemudian beliau menyebutkan riwayat dari Imam Ahmad yang berpendapat, tidak halal memakannya walau tidak disebut nama selain Allah Ta'ala atasnya. Beliau rahimahullah juga menguatkan kesimpulannya tersebut pada riwayat yang berasal dari Aisyah dan Abdullah bin Umar.
Pada ringkasnya, boleh menerima hadiah dari tetangga yang Nashrani pada hari raya mereka dengan beberapa syarat:
Pertama, hadiah ini tidak berupa sembelihan (daging hewan) yang disembelih untuk merayakan hari raya tersebut.
Kedua, hadiah tersebut tidak termasuk yang digunakan untuk bertasyabbuh pada hari raya mereka, seperti lilin, pakain sinterklaus, trompet, dan asesoris natal lainnya.
Ketiga, hendaknya dijelaskan kepada anggota keluarga muslim hakikat aqidah al-wala' dan bara' sehingga tidak tertanam rasa cinta terhadap hari raya ini atau berharap hadiah dari orang Kristen saat natal.
Perlu diingat, dalam menerima hadiah harus diniatkan untuk melunakkan hatinya dan membuat ia tertarik kepada Islam, bukan karena cinta dan sayang kepada mereka. Wallahu A’lam.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/aqidah/2014/12/24/34682/orang-kafir-kasih-hadiah-di-hari-besar-mereka-tak-apaapa-menerimanya/#sthash.qwwDtin3.dpuf

Hadits tentang Bulan Rajab

Al-Hamdulillah, segala puji untuk Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada baginda Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.

اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ

Allaahumma Baarik Lanaa Fii Rajaba Wa Sya'baanaa Wa Ballighnaa Ramadhanaa
"Ya Allah berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya'ban dan sampaikan kami kepada Ramadhan."

Ini adalah doa yang paling masyhur dibaca pada bulan Rajab. Dibaca berulang-ulang dalam forum-forum perkumpulan dan pengajian. Bahkan di tempat tinggal penulis, ia dijadikan sebagai puji-pujian sesudah adzan.

Banyak penceramah yang menganjurkan untuk memperbanyak membaca doa tersebut di bulan ini. Sebagian mereka memperkuat anjuran itu dengan menyebutkan sumbernya dan perawi yang mengeluarkannya. Namun demikian, apakah hadits ini bisa dipegang dan dijadikan hujjah menurut ulama ahli hadits?

Teks Hadits

Terdapat dalam Musnad Imam Ahmad (1/259), no. 2346;


حَدَّثَنَا عَبْد اللَّهِ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ عَنْ زَائِدَةَ بْنِ أَبِي الرُّقَادِ عَنْ زِيَادٍ النُّمَيْرِيِّ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ رَجَبٌ قَالَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبَ وَشَعْبَانَ ، وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَوَكَانَ يَقُولُ لَيْلَةُ الْجُمُعَةِ غَرَّاءُ وَيَوْمُهَا أَزْهَرُ


“Abdullah menyampaikan kepada kami, Ubaidullah bin Umar menyampaikan kepada kami, dari Zaa-idah bin Abi al-Raqqad, dari Ziyad al-Numairi, dari Anas bin Malik berkata: Apabila masuk bulan Rajab, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam membaca:

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبَ وَشَعْبَانَ ، وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ

"Ya Allah berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya'ban dan sampaikan kami kepada Ramadhan." Kemudian beliau berkata, “Pada malam jumatnya ada kemuliaan, dan siangnya ada keagungan"."

Hadits ini juga diriwayatkan Al-Thabrani dalam al-Ausath (4/189), Ibnu Sunni dalam Amal al-Yaum wa al-Lailah (659), Al-Baihaqi menyebutkan dalam Su’ab al-Iman (3/375), Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (6/269), Al-Bazzar dalam Musnadnya (Mukhtasar Zawaidul Bazar li al-Hafidz: 1/285, 402), dari berbagai jalan periwayatan dari Zaidah bin Abu Raqqad, ia berkata, “Telah menceritakan kepadaku Ziyad an Numairi, dari Anas secara marfu’.”

Berkata al-Baihaqi, “Hadits ini hanya diriwayatkan oleh an-Numairi, dan dari dia hanya oleh Zaa-idah. Berkata Bukhari: Zaidah jikalau meriwayaktan dari Ziyad al-Numairi haditsnya munkar.’ An-Numairi ini juga orang yang lemah.

Hadits di atas memiliki 2 perawi yang bermasalah: Pertama, Zaidah bin Abi al-Raqqad. Berikut ini komentar para ulama tentangnya:

- Al-Bukhari mengatakan, “Dia Munkarul hadits.”

- Abu Dawud mengatakan, “Saya tidak mengetahui haditsnya.”

- Al-Nasai mengatakan, “Saya tidak tahu, siapa orang ini”

- Ad-Dzhabi dalam Diwan Ad-Dhu’afa mengatakan, “Tidak bisa dijadikan hujah”

- Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan, “Munkarul hadits”

Kedua, Ziyad bin Abdullah Al-Numairi al-Bashri. Para Ulama mengomentarinya sebagai berikut:

- Yahya bin Ma’in mengatakan, “Hadisnya dhaif.”

-Abu Hatim berkata: Haditsnya ditulis, tapi tidak dijadikan hujjah."

- Abu Ubaid Al-Ajuri mengatakan, “Saya bertanya kepada Abu Dawud tentang Ziyad ini dan beliau mendhaifkannya.”

- Ibnu Hibban dalam Al-Majruhin mengatakan, “Munkarul hadits. Dia meriwayatkan dari Anas beberapa riwayat, yang sama sekali tidak menyamai haditsnya orang yang terpercaya. Tidak boleh berhujjah dengannya.”

- Al-Daruquthni, “Dia tidak kuat.”

- Ibnu Hajar mengatakan, “Dhaif.”

Komentar Ulama Terhadap Hadits Ini

Al-Baihaqi dalam Su’ab al-Iman (3/375) berkata, "Ziyad An-Numairi meriwayatkan sendirian, dan meriwayatkan darinya Zaidah bin Abi al-Raqqad. Al-Bukhari berkata: Zaidah bin Abi al-Raqqad dari Ziyad al-Numairi adalah haditsnya munkar."

Al-Nawawi dalam Al-Adzkar (hal. 274) berkata, "Kami telah meriwayatkannya dalam Hilyah al-Auliya dengan sanad yang dhaif."

Al-Dzahabi dalam Mizan al-I'tidal (3/96), saat menyebutkan biografi Zaidah dan menyebutkan haditsnya, beliau berkomentar: "Juga dhaif."

Al-Haitsami dalam Majma’ Al-Zawaid (2/165) mengatakan, “Al-Bazzar meriwayatkannya dan di dalam sanadnya terdapat Zaidah bin Abi Raqqad, Al-Bukhari berkata: "Munkarul hadits, sementara sekelompok ulama lainnya menyatakan sebagai perawi majhul (tidak dikenal).”

Ibnu 'Alan dalam al-Futuhat al-Rabbaaniyah (4/335) berkata, "Dinukil dari al-Hafid Ibnu Hajar, beliau berkata: Hadits gharib yang dikeluarkan al-Bazzar dan Abu Nu'aim."

Syaikh Ahmad Syakir dalam Takhrij Musnad Imam Ahmad mengatakan, "Sanadnya dhaif.”

Syaikh Syu'aib al-Nauth dalam Takhrijnya terhadap Musnad Imam Ahmad juga mengatakan, “Isnadnya dhaif."

Sementara Syaikh Al-Albani mengutip komentar Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 3:375 yang menyatakan,

تفرد به زياد النميري وعنه زائدة بن أبي الرقاد قال البخاري : زائدة بن أبي الرقاد عن زياد النميري منكر الحديث


"Ziyad An-Numairi sendirian dalam meriwayatkan hadis ini. Sementara Zaidah bin Abi Ruqqad meriwayatkannya dari Ziyad. Bukhari mengatakan: Zaidah bin Abi Ruqqad dari Ziyad An-Numairi, munkarul hadits." (Sumber: www.saaid.net)

Kesimpulan:

Mengambil komentar dari para ulama hadits maka hadits yang menyebutkan doa yang ramai dibaca pada bulan Rajab ini dibangun di atas sanad yang lemah. Sehingga tidak bisa dijadikan sebagai sandaran yang sah untuk berhujjah dan beramal.  Artinya menjadikannya sebagai landasan pengamalan doa khusus di bulan Rajab di atas untuk mendapatkan keutamaan dan pahala besar adalah tidak dibenarkan.

Namun bagi siapa yang meminta kepada Allah agar diberkahi pada bulan Rajab dan Sya'ban serta disampaikan kepada Ramadhan –bukan sebagai ubudiyah khashshah di bulan Rajab ini- maka tidak mengapa. Karena ia berdoa dengan doa yang bersifat umum yang mungkin dikabulan. Maka larangan terhadap amalan hadits di atas adalah menghususkannya di bulan Rajab dan meyakininya sebagai amalan istimewa di bulan ini, yang siapa mengamalkannya berarti ia telah beribadah kepada Allah dengan ibadah khusus di dalamnya dan mendapatkan kemuliaan dan pahala besar dengan membacanya di bulan ini yang tidak bisa didapatkan pada bulan-bulan selainnya.
 Wallahu Ta'ala A'lam.

Adakah Do'a setelah Sholat???

Sebagian orang beranggapan bahwa setelah shalat wajib tidak ada doa, yang ada adalah dzikir. Sedangkan doa, posisinya di dalam shalat, seperti dalam tasyahhud sebelum salam dan lainnya. Anggapan seperti ini tidak benar, karena sesungguhnya ada hadits-hadits shahih yang menunjukkan bahwa Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam berdoa setelah salam.
Diantara hadits-hadits tersebut adalah :
عَنْ الْبَرَاءِ قَالَ كُنَّا إِذَا صَلَّيْنَا خَلْفَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْبَبْنَا أَنْ نَكُونَ عَنْ يَـمِينِهِ يُقْبِلُ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ قَالَ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ رَبِّ قِنِي عَذَابَكَ يَوْمَ تَبْعَثُ أَوْ تَجْمَعُ عِبَادَكَ
Dari al-Bara’ radhiyallâhu'anhu, dia berkata, "Jika kami shalat di belakang Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam, kami senang berada di sebelah kanan beliau. Beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam akan menghadapkan wajahnya kepada kami. Aku pernah mendengar beliau berdo'a, 'Wahai Rabb-ku, jagalah aku dari siksa-Mu pada hari (kiamat) yang Engkau akan membangkitkan atau mengumpulkan hamba-hamba-Mu'”.
(HR.Muslim, no. 709)

Mudik Lebaran dan Tradisi yang keliru

Wahai manusia, hiasilah hubungan dengan kerabatmu untuk mencari ridha Allâh Ta'ala. Dengan bersilaturahmi, keberkahan umur dan rizki akan di raih dan derajat mulia akan tercapai di sisi Allâh Ta'âla. Ketahuilah, silaturahmi dengan sanak kerabat dan famili merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allâh Ta'ala.
Dari Anas bin Malik radhiyallâhu'anhu, bahwa Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
hadist
Barangsiapa yang ingin diluaskan rizkinya dan ditambah umurnya,
maka hendaklah melakukan silaturrahmi
Lihat Shahih Abu Dawud (1486), Shahih Adabul Mufrad (56) Shahih Muslim, Bab Al Birri Washshilah, hadits ke-20.

Silaturrahmi yang hakiki bukanlah menyambung hubungan baik terhadap orang-orang yang telah berbuat baik terhadap kita. Namun, silaturrahmi yang sebenarnya ialah menyambung hubungan dengan orang-orang yang telah memutuskan tali silaturahmi dengan kita.
Dari Abdullah bin Amr radhiyallâhu'anhu, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
hadist
Sesungguhnya bukanlah orang yang menyambung silaturahmi
adalah orang yang membalas kebaikan,
namun orang yang menyambung silaturahmi adalah
orang yang menyambung hubungan
dengan orang yang telah memutuskan silaturahmi.
ShahihAdabil Mufrad (68), Bab Laisal Wasil Bil Mukafi’

TRADISI 'MUDIK LEBARAN' DALAM TINJUAN ISLAM
Sebagian besar kaum Muslimin di negeri kita mengira, bahwa mudik lebaran ada kaitannya dengan ajaran Islam, karena terkait dengan ibadah bulan Ramadhan. Sehingga banyak yang lebih antusias menyambut mudik lebaran daripada mengejar pahala puasa dan lailatul qadr. Dengan berbagai macam persiapan, baik tenaga, finansial, kendaraan, pakaian dan oleh-oleh perkotaan. Ditambah lagi dengan gengsi bercampur pamer, mewarnai gaya mudik. Kadang dengan terpaksa harus menguras kocek secara berlebihan, bahkan sampai harus berhutang.
Menjelang Hari Raya 'Iedul Fitri, kantor pegadaian menjadi sebuah tempat yang paling ramai dipadati pengunjung yang ingin berhutang. Padahal yang benar, mudik tidak ada kaitannya dengan ajaran Islam karena tidak ada satu perintahpun baik dari Al-Qur’an maupun As Sunnah yang menyatakan bahwa, setelah menjalankan ibadah Ramadhan harus melakukan acara silaturahmi untuk kangen-kangenan dan maaf-maafan, karena silaturahmi bisa dilakukan kapan saja sesuai kebutuhan dan kondisi.
Apabila yang dimaksud mudik lebaran sebagai bentuk kegiatan untuk memanfaatkan momentum dan kesempatan untuk menjernihkan suasana keruh dan hubungan yang retak, sementara tidak ada kesempatan yang baik kecuali hanya waktu lebaran, maka demikian itu boleh-boleh saja. Namun, bila sudah menjadi suatu yang lazim dan dipaksakan, serta diyakini sebagai bentuk kebiasaan yang memiliki kaitan dengan ajaran Islam, atau disebut dengan istilah tradisi Islami, maka demikian itu bisa menjadi bid’ah dan menciptakan tradisi yang batil dalam ajaran Islam.
Sebab seluruh macam tradisi dan kebiasaan yang tidak bersandar pada petunjuk syariat merupakan perkara bid’ah dan tertolak, sebagaimana sabda Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam:
hadist
Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allâh,
patuh dan taat walaupun dipimpin budak habasyi.
Karena siapa yang masih hidup dari kalian, akan melihat perselisihan yang banyak.
Maka berpegang teguhlah kepada sunnahku
dan sunnah para khulafaur rasyidin yang memberi petunjuk.
Berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dengan gigi geraham kalian.
Waspadalah terhadap perkara-perkara baru (bid’ah),
karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat.
(Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Membaca Bismillah di keras atau di Pelan ???

Para ulama berselisih pendapat tentang basmallah pada awal surat-surat di dalam al-Qur‘an, apakah termasuk al-Qur‘an dan termasuk surat itu, ataukah tidak?

Yang rajih (lebih kuat) –wallahu a’lam– bahwa basmallâh pada awal semua surat di dalam al-Qur‘an termasuk ayat al-Qur‘an, karena telah ditetapkan dan ditulis di dalam mushhaf. Dan umat juga telah sepakat, bahwa semua yang ditulis para sahabat di antara dua sampul mushhaf itu adalah al-Qur‘an.
Dan juga (pendapat yang rajih), bahwa basmallâh di awal surat itu tidak termasuk bagian dari surat tersebut, termasuk pada basmallâh surat al-Fatihah. Sehingga ayat pertama dalam surat al-Fatihah adalah الْـحَمْدُ لِلَّهِ رِبِّ الْعَالَمِيْنَ sedangkan ayat keenam adalah صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ, dan ayat ketujuh adalah غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَ لاَ الضَّآلِّيْنَ.
Para ulama juga berselisih, apakah imam mengeraskan basmallâh ketika dalam shalat jahriyah? Dalam permasalahan ini terdapat dua pendapat.

Pertama, disunnahkan dibaca pelan. Ini merupakan pendapat Khulafaur Rasyidin: Abu Bakar, Umar, ‘Utsman, Ali, dan sahabat Ibnu Mas’ud, Ibnu Zubair, dan ‘Ammar radhiyallâhu'anhum. Juga pendapat al Auza’i, Sufyan ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, Hanabilah dan Ash-habur Ra’yi. Ini adalah pendapat jumhur ulama.
Begitu pula dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh, beliau memilih pendapat ini.

Kedua, disunnahkan dibaca keras. Pendapat ini masyhur sebagai pendapat Imam Syafi’i.
Yang rajih (kuat) adalah pendapat pertama, karena dalil-dalilnya shahih dan tegas. Adapun pendapat kedua, sebagian dalilnya dha’if, sedangkan yang shahih tidak sharih (tegas) menunjukkan pendapat tersebut.
Berikut ini di antara dalil pendapat pertama :
hadits
Dari Anas bin Malik, bahwa Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, Abu Bakar, dan
Umar, (dan ‘Utsman), mereka semua membuka shalat dengan الْـحَمْدُ لِلَّهِ رِبِّ الْعَالَمِيْنَ.
(HR Bukhari, no. 743; Muslim, no. 399;
tambahan “dan Utsman” pada riwayat Tirmidzi, no. 246)

Setelah meriwayatkan hadits ini, Imam Tirmidzi rahimahullâh mengatakan:
“Amalan ini dilakukan oleh para sahabat nabi radhiyallâhu'anhum, dan para tabi’in setelah mereka. Mereka membuka bacaan dengan الْـحَمْدُ لِلَّهِ رِبِّ الْعَالَمِيْنَ. Tetapi (Imam) Syafi’i berkata : ’Makna hadits ini adalah, bahwa Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, Abu Bakar, Umar, dan ‘Utsman, mereka semua membuka bacaan (shalat) dengan membaca al-Fatihah sebelum surat. Dan maknanya, bukanlah mereka tidak membaca basmallah. (Imam) Syafi’i berpendapat, (imam) memulai dengan basmallah dan mengeraskannya, jika dia mengeraskan bacaan’.”
(Sunan Tirmidzi, no. 246)

Akan tetapi, pendapat Imam Syafi’i rahimahullâh ini terbantahkan dengan riwayat lain, yang menegaskan bahwa mereka itu benar-benar memulai bacaan dengan hamdallah, dan tidak dengan basmallah. Yaitu tambahan yang ada pada riwayat Imam Muslim :
hadits
Dan mereka tidak menyebutkan pada awal bacaan (al Fatihah, Red),
dan tidak pula pada akhir bacaan (al Fatihah, yaitu awal surat setelahnya, Red)
(HR Muslim, no. 399)

Juga pada riwayat yang lain, lebih tegas lagi disebutkan :
hadits
Dari Anas bin Malik, dia berkata:
“Aku shalat bersama Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam,
dan bersama Abu Bakar, Umar, ‘Utsman.
Aku tidak mendengar seorangpun dari mereka membaca basmallah.”
(HR Muslim, no. 399)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh, setelah menjelaskan masalah ini secara panjang lebar, dan memilih bahwa menurut Sunnah adalah membaca basmallah dengan pelan, beliau rahimahullâh berkata:

“Bersamaan dengan ini, maka yang benar (bacaan) yang tidak dikeraskan. Terkadang disyari’atkan untuk dikeraskan, karena mashlahat yang lebih kuat. Maka terkadang disyari’atkan bagi imam (mengeraskannya, Red) sebagai misal untuk pengajaran kepada makmum. Dan terkadang makmum boleh mengeraskan dengan sedikit kalimat. Seseorang juga boleh meninggalkan sesuatu yang lebih utama untuk merekatkan hati-hati (manusia) dan menyatukan kalimat, karena takut menjauhnya (manusia) dari hal yang baik”. (Majmu’ Fatawa, 22/436)

Perlu juga kita pahami, adanya perselisihan dalam masalah ini tidak boleh dibesar-besarkan, yang kemudian dapat menjadi sebab kebencian dan perpecahan umat. Wallahu a’lam

Fenomena Jual Beli Kredit

Bismillah..
Jual beli kredit datang menyeruak diantara berbagai sistem bisnis yang ada. Sistem ini diminati banyak kalangan, terlebih kalangan menengah ke bawah, karena kadang-kadang mereka terdesak untuk membeli barang tertentu yang tidak bisa dibeli dengan kontan, maka kredit adalah pilihan yang mungkin dirasa tepat.
        Namu,melihat beberapa fenomena yang ada, jual beli kredit perlu ditilik kembali hukumnya, HALAL ataukah HARAM? karena, bagi seorang muslim status HALAL merupakan suatu yang mutlak, tidak ada tawar menawar. 

Pengertian Jual beli Kredit
Kredit dalam bahasa arab disebut dengan taqsiith yang artinya bagian, jatah atau membagi-bagi. 
Adapun secara istilah adalah menjual sesuatu dengan pembayaran yang tertunda, dengan cara memberi cicilan dalam jumlah tertentu dalam beberapa waktu secara tertentu, lebih mahal dari harga kontan.

Hukum jual beli kredit dengan tambahan harga
Masalah ini tergolong diantara sekian banyak masalah fiqih yang dipertentangkan oleh para ulama mengharamkan secara tegas :
  • (mereka adalah sammak bin Harb, Abdul WAhhab bin Atha', ibnu Sirin, Thawaus Sufyan ats-Tsauri, Ibnu Qutaibah, Nasai, Ibnu Hibban, juga Syaikh Albani dan murid beliau, Syaikh Salim bin Id al-Hilali.)
Sedangkan sebagian lagi menghalalkannya :
  • at-Thirmidzi, al-Khathabi, Syaikhrul Islam ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih al- Utsaimin, Syaikh Jibrin dll.
Masing-masing Ulama diatas memiliki dalil dan argumentasi yang kuat, akan tetapi Wallahu a'lam bish shawab, yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat yang membolehkannya dengan alasan sebagai berikut:

Allah akan menggantikanya

Hawa nafsu memiliki kekuatan atas diri manusia, menempati hati dan menguasainya, maka apabila kita dapat meninggalkannya, berarti kemuliaan sekalipun hal itu terasa sulit, akan tetapi barang siapa yang bertaqwa dan memohon pertolongan kepada Allah swt pastilah dia mencukupi dan menolongnya. Allah swt berfirman :
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ ۚ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
"Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu." (At-talaq :3)

Ingat bahaya hutang

Bismillah....
Jika mencari orang yang mau pinjamkan uang itu sulit, Tetapi lebih sulit adalah mencari orang yang amanat dalam melunasi utang. Ketika awal meminjam uang, rasa harapnya begitu luar biasa, sangat mengharap untuk bisa dipinjamkan, berbagai cara mereka lakukan untuk mendapatkannya, baik lewat telepon atau sms...subhanallah
Tetapi ketika jaminan diserahkan dan uang dipinjamkan, maka sesuai janji akan dikembalikan bulan ini. Dinanti-nanti sesuai janji, di-sms, bahkan di-telepon, juga tidak ada balasan. Yang ada cuma kata “maaf”, atau kalau mau sok arab “afwan, akhi”, dan masih banyak lagi cara untuk mengelak dari si pemberi hutang tersebut.
Padahal di awal ketika dia meminjam, dia datang dengan penuh pengharapan. Namun ketika sudah jatuh tempo, padahal ia orang yang mampu untuk kembalikan, janji tinggallah janji. Beda halnya kalau memang dia adalah orang yang susah, mungkin kita bisa maafkan. Sungguh susah cari orang yang mau amanah dalam masalah utang untuk saat ini.

Ingat Bahaya Berhutang
Untuk setiap orang yang berhutang seharusnya mengingat bahaya banyak berhutang berikut ini.
  1. Akan menyusahkan dirinya di akhirat kelak. Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.” (HR. Ibnu Majah no. 2414, shahih).
  2.  Jiwanya masih menggantung hingga hutangnya lunas. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jiwa seorang mukmin masih bergantung dengan hutangnya hingga dia melunasinya.(HR. Tirmidzi no. 1078 dan Ibnu Majah no. 2413, shahih). Al ‘Iroqiy mengatakan, “Urusannya masih menggantung, artinya tidak bisa kita katakan ia selamat ataukah sengsara sampai dilihat hutangnya tersebut lunas ataukah tidak. (Tuhfatul Ahwadzi, 3/142). Asy Syaukani berkata, “Hadits ini adalah dorongan agar ahli waris segera melunasi hutang si mayit. Hadits ini sebagai berita bagi mereka bahwa status orang yang berhutang masih menggantung disebabkan oleh hutangnya sampai hutang tersebut lunas. Ancaman dalam hadits ini ditujukan bagi orang yang memiliki harta untuk melunasi hutangnya lantas ia tidak lunasi. Sedangkan orang yang tidak memiliki harta dan sudah bertekad ingin melunasi hutangnya, maka ia akan mendapat pertolongan Allah untuk memutihkan hutangnya tadi sebagaimana hal ini diterangkan dalam beberapa hadits.” (Nailul Author, 6/114). Penjelasan Asy Syaukani menunjukkan ancaman bagi orang yang mampu melunasi hutang lantas ia tidak amanat. Ia mampu melunasinya tepat waktu, namun tidak juga dilunasi. Bahkan seringkali menyusahkan si pemberi hutang. Padahal si kreditur sudah berbaik hati meminjamkan uang tanpa adanya bunga dan mungkin saja si kreditur butuh jika hutang tersebut lunas.
  3. Diberi status sebagai pencuri jika berniat tidak ingin mengembalikan hutang. Dari Shuhaib Al Khoir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri.” (HR. Ibnu Majah no. 2410, hasan shahih). Al Munawi mengatakan, “Orang seperti ini akan dikumpulkan bersama golongan pencuri dan akan diberi balasan sebagaimana mereka.” (Faidul Qodir, 3/181)
  4. Berhutang sering mengantarkan pada banyak dusta. Dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdo’a di dalam shalat: Allahumma inni a’udzu bika minal ma’tsami wal maghrom (Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari berbuat dosa dan banyak hutang).” Lalu ada yang berkata kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kenapa engkau sering meminta perlindungan dari hutang?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Jika orang yang berhutang berkata, dia akan sering berdusta. Jika dia berjanji, dia akan mengingkari.” (HR. Bukhari no. 2397 dan Muslim no. 589). Al Muhallab mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat dalil tentang wajibnya memotong segala perantara yang menuju pada kemungkaran. Yang menunjukkan hal ini adalah do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berlindung dari hutang dan hutang sendiri dapat mengantarkan pada dusta.” (Syarh Ibnu Baththol, 12/37). Realita yang ada itulah sebagai bukti. Orang yang berutang seringkali berdusta ketika pihak kreditur datang menagih, “Kapan akan kembalikan utang?” “Besok, bulan depan”, sebagai jawaban. Padahal itu hanyalah dusta dan ia sendiri enggan melunasinya.
Jika Mampu Mengembalikan Hutang, Segeralah Tunaikan

Jika sudah mengetahui bahaya di atas, maka tentu saja kita harus bersikap amanat. Jika mampu lunasi hutang, segeralah lunasi. Kita tidak tahu kapan nafas kita berakhir. Barangkali ketika kita mati, malah hutang-hutang kita yang sekian banyak belum juga terlunasi. Sungguh nantinya keadaan seperti ini akan menyusahkan diri kita sendiri. Ingatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya yang paling di antara kalian adalah yang paling baik dalam membayar hutang.” (HR. Bukhari no. 2393)

Sudah berniat melunasi hutang dan sekeras tenaga berusaha untuk melunasinya, itu pun sudah termasuk sikap yang baik. Allah akan menolong orang semacam ini dalam urusannya.

Dulu Maimunah ingin berhutang. Lalu di antara kerabatnya ada yang mengatakan, “Jangan kamu lakukan itu!” Sebagian kerabatnya ini mengingkari perbuatan Maimunah tersebut. Lalu Maimunah mengatakan, “Iya. Sesungguhnya aku mendengar Nabi dan kholil-ku (kekasihku) shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang muslim memiliki hutang dan Allah mengetahui bahwa dia berniat ingin melunasi hutang tersebut, maka Allah akan memudahkannya untuk melunasi hutang tersebut di dunia”. (HR. Ibnu Majah no. 2399 dan An Nasai no. 4686, shahih kecuali lafazh “fid dunya” -di dunia-). Juga terdapat hadits dari ‘Abdullah bin Ja’far, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah akan bersama (memberi pertolongan pada) orang yang berhutang (yang ingin melunasi hutangnya) sampai dia melunasi hutang tersebut selama hutang tersebut bukanlah sesuatu yang dilarang oleh Allah.” (HR. Ibnu Majah no. 2400, shahih). Moga pertolongan Allah segera datang jika kita benar-benar dan berusaha keras melunasi hutang-hutang kita.

Salah Memposisikan Dalil

Sikap orang yang berhutang seharusnya segera melunasi hutangnya. Jangan malah memiliki sikap sebaliknya, yaitu beranggapan bahwa pemberi utang yang baik pasti akan memberi tenggang waktu. Barangkali ini dalil yang sering digunakan adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 280). Dalilnya memang benar, namun salah meletakkan. Dalil ini ditujukan bagi pihak pemberi hutang agar memiliki sikap yang baik dengan memberi tenggang waktu jika orang yang berutang berada dalam kesulitan atau bahkan lebih baik memutihkan utang tersebut. Sehingga dalil di atas bukanlah untuknya. Seharusnya yang jadi dalil baginya adalah dalil-dalil yang menyebutkan bahaya berhutang sebagaimana disebutkan di atas. Jadi, janganlah salah memposisikan dalil.

Pikir Matang-Matang Sebelum Berhutang

Jika kita mengingat kembali bahaya berhutang di awal bahasan, maka sudah seharusnya setiap muslim memikirkan matang-matang sebelum berhutang. Usaha bisa maju tidak selamanya dengan modal uang. Sudah seringkali di Majalah Pengusaha Muslim dijelaskan mengenai berbagai usaha dengan modal minimalis atau bahkan ada yang tanpa modal sama sekali. Ini tentu bisa sebagai pilihan alternatif. Jadikanlah prinsip, berutang di saat butuh dan merasa mampu mengembalikan. Sehingga dengan prinsip seperti ini tidak membuat kita sulit di dunia dan di akhirat kelak.

Ingatlah bahwa Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri selalu meminta pada Allah perlindungan dari banyak utang  dengan doanya: Allahumma inni a’udzu bika minal ma’tsami wal maghrom (Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari berbuat dosa dan banyak utang)  (HR. Bukhari no. 2397 dan Muslim no. 589). Ibnul Qoyyim berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta perlindungan kepada Allah dari berbuat dosa dan banyak hutang karena banyak dosa akan mendatangkan kerugian di akhirat, sedangkan banyak utang akan mendatangkan kerugian di dunia.” (Al Fawaid, 57


Dari artikel 'Susahnya Mencari Orang yang Amanat dalam Melunasi Utang — Muslim.Or.Id'

Bab khitan untuk wanita

Bismillah....
Pembahasan khitan bagi wanita memang menjadi polemik. Ada yang pro, namun tidak sedikit pula yang kontra. Bagaimana sebenarnya kedudukan khitan wanita dalam pandangan Islam dan  juga tinjauan medis? Insya Allah Anda akan temukan jawabannya dalam artikel ini.

Khitan bagi Wanita Termasuk Syariat Islam
Terdapat silang pendapat di kalangan para ulama tentang hukum khitan bagi wanita. Sebagian mengatakan khitan bagi wanita hukumnya wajib, sebagian lagi mengatakan hukumnya sunnah (dianjurkan).

Dalil yang Menunjukkan Wajib


Ulama yang mewajibkan khitan bagi wanita, mereka beralasan dengan dalil-dalil berikut :

1. Hukum wanita sama dengan laki-laki kecuali ada dalil yang membedakannya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إنما النساء شقائق الرجال

“Wanita itu saudara kandung laki-laki“ (H.R. Abu Dawud 236, hasan)

Alasan, Mengapa Muslim di larang mengucapkan Selamat Natal??

Bismillah....
Mungkin tidak lama lagi, akan terdengar, akan terpampang tulisan yang dibaca “Merry Christmas”, atau yang artinya Selamat Hari Natal. Dan biasanya, momen ini disandingkan dengan ucapan Selamat Tahun Baru.

Sebagian orang menganggap ucapan semacam itu tidaklah bermasalah, apalagi yang yang berpendapat demikian adalah mereka orang-orang kafir. Namun hal ini menjadi masalah yang besar, ketika seorang muslim mengucapakan ucapan selamat terhadap perayaan orang-orang kafir.

Dan ada juga sebagian di antara kaum muslimin, berpendapat nyeleneh sebagaimana pendapatnya orang-orang kafir. Dengan alasan toleransi dalam beragama!? Toleransi beragama bukanlah seperti kesabaran yang tidak ada batasnya. Namun toleransi beragama dijunjung tinggi oleh syari’at, asal di dalamnya tidak terdapat penyelisihan syari’at. Bentuk toleransi bisa juga bentuknya adalah membiarkan saja mereka berhari raya tanpa turut serta dalam acara mereka, termasuk tidak perlu ada ucapan selamat.

Islam mengajarkan kemuliaan dan akhlak-akhlak terpuji. Tidak hanya perlakuan baik terhadap sesama muslim, namun juga kepada orang kafir. Bahkan seorang muslim dianjurkan berbuat baik kepada orang-orang kafir, selama orang-orang kafir tidak memerangi kaum muslimin.

Allah Ta’ala berfirman,

لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah: 8)

Namun hal ini dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk menggeneralisir sikap baik yang harus dilakukan oleh seorang muslim kepada orang-orang kafir. Sebagian orang menganggap bahwa mengucapkan ucapan selamat hari natal adalah suatu bentuk perbuatan baik kepada orang-orang nashrani. Namun patut dibedakan antara berbuat baik (ihsan) kepada orang kafir dengan bersikap loyal (wala) kepada orang kafir.

Alasan Terlarangnya Ucapan Selamat Natal

1- Bukanlah perayaan kaum muslimin

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa perayaan bagi kaum muslimin hanya ada 2, yaitu hari ‘Idul fitri dan hari ‘Idul Adha.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata : “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang dan bermain-main di masa jahiliyah. Maka beliau berkata : Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di masa Jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-main. Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari raya kurban (‘Idul Adha) dan hari raya ‘Idul Fitri” (HR. Ahmad, shahih).

Sebagai muslim yang ta’at, cukuplah petunjuk Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- menjadi sebaik-baik petunjuk.

2- Menyetujui kekufuran orang-orang yang merayakan natal

Ketika ketika mengucapkan selamat atas sesuatu, pada hakekatnya kita memberikan suatu ucapan penghargaan. Misalnya ucapan selamat kepada teman yang telah lulus dari kuliahnya saat di wisuda.

Nah,...begitu juga dengan seorang yang muslim mengucapkan selamat natal kepada seorang nashrani. Seakan-akan orang yang mengucapkannya, menyematkan kalimat setuju akan kekufuran mereka. Karena mereka menganggap bahwa hari natal adalah hari kelahiran tuhan mereka, yaitu Nabi ‘Isa ‘alaihish shalatu wa sallam. Dan mereka menganggap bahwa Nabi ‘Isa adalah tuhan mereka. Bukankah hal ini adalah kekufuran yang sangat jelas dan nyata?

Kita ikut merayakan tahun baru, mengikuti siapa?

Bismillah..


Perayaan tahun baru ternyata bukan sesuatu yang baru, bahkan ternyata itu adalah budaya yang sangat kuno, bebarapa umat melakukan. Perayaan itu, diantaranya adalah hari raya Nairuz, dalam kitab al Qomus. Nairuz adalah hari pertama dalam setahun, dan itu adalah awal tahun matahari.
Orang-orang Madinah dahulu pernah merayakannya sebelum kedatangan Rasulullah. Bila diteliti ternyata ternyata itu adalah hari raya terbesarnya orang Persia bangsa Majusi para penyembah api, dikatakan dalam sebagian referensi bahwa pencetus pertamanya adalah salah satu raja-raja mereka yaitu yang bernama Jamsyad.
Ketika Nabi datang ke Madinah beliau mendapati mereka bersenang–senang merayakannya dengan berbagai permainan, Nabi berkata: ‘Apa dua hari ini’, mereka menjawab, ‘Kami biasa bermain-main padanya di masa jahiliyah’, maka Rasulullah bersabda:
إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْر
“Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian dua hari itu dengan yang lebih baik dari keduanya yaitu hari raya Idul Adha dan Idul Fitri. [Shahih, HR Abu Dawud disahihkan oleh asy syaikh al Albani]

Para pensyarah  hadits mengatakan bahwa yang dimaksud dengan dua hari yang sebelumnya mereka rayakan adalah hari Nairuz dan hari Muhrojan [Mir’atul mafatih]
Di samping majusi, ternyata orang-orang Yahudi juga punya kebiasaan merayakan awal tahun, sebagian sumber menyebutkan bahwa perayaan awal tahun termasuk hari raya Yahudi, mereka menyebutnya dengan Ra’su Haisya yang berarti hari raya di penghujung bulan, kedudukan hari raya ini dalam pandangan mereka semacam kedudukan hari raya Idul Adha bagi muslimin.
Lalu Nashrani mengikuti jejak Yahudi sehingga mereka juga merayakan tahun baru. Dan mereka juga memiliki kayakinan-keyakinan tertentu terkait dengan awal tahun ini. [Bida’ Hauliiyyah]
Tidak menutup kemungkinan masih ada umat-umat lain yang juga merayakan awal tahun atau tahun baru, sebagaimana disebutkan beberapa sumber. Yang jelas, siapa mereka?, tentu, bukan muslimin, bahkan Majusi penyembah api nasrani penyemabah Yesus dan Yahudi penyembah Uzair.

Aqiqah

Bismillah 
Aqîqah untuk bayi yang baru lahir hukumnya sunnah muakkadah (sangat ditekankan) menurut pendapat jumhur ulama. Hal ini dirâjihkan Lajnah Dâ-imah dalam fatwa no. 1776, 3116, 4861, 8052, 9029, 12591.
Kesimpulan dari fatwa tersebut, bahwa hukum menyembelih hewan aqîqah bagi orang tua yang mendapatkan anugerah berupa kelahiran anak adalah sunnah muakkadah. Yaitu dengan menyembelih dua ekor kambing untuk anak lelaki, dan satu ekor kambing untuk anak perempuan. Dilaksanakan pada hari ketujuh dari kelahiran bayi.
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
hadist
Aqîqah untuk anak lelaki dua kambing yang serupa.
Dan aqîqah bagi anak perempuan seekor kambing.
(HR Ahmad dan at-Tirmidzi)

Merujuk nash di atas, maka tidak ada yang mencukupi untuk aqîqah kecuali menyembelih kambing. Tidak bisa digantikan, misalnya dengan membeli daging kiloan, pembagian uang atau yang lainnya.
Sembelihan aqîqah ini diadakan untuk fidyah (tebusan) atas bayi,
(Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits, bahwa bayi itu tergadai dengan aqîqahnya. Maka dengan diaqîqahi, berarti si bayi sudah terlepas dari gadai. )

Optimis akan keselamatannya dan untuk menolak setan darinya, sebagaimana dijelaskan Ibnul-Qayyim rahimahullâh dalam kitab Tuhfat al-Wadûd fi Ahkâm al-Maulûd.
(Al-Muntaqa min Fatâwa Syaikh Shâlih al-Fauzân (5/194).
  

Jilbab untuk kaum muslimah

Bismillah
Dewasa ini muncul busana muslimah dengan beragam corak dan mode. Bahkan terpajang di outlet-outlet penjualan yang biasanya dipenuhi baju-baju pengumbar aurat. Namun, kebanyakan busana-busana muslimah tersebut masih mempertontonkan lekuk tubuh, sempit, lagi ketat. Demikian pula aneka jilbab gaul dengan desain seperti topi yang hanya menutupi rambut belaka.

Di sisi lain, busana muslimah hanya dipakai dalam acara-acara tertentu atau kegiatan keagamaan. Misalnya hanya ketika shalat, seorang wanita muslimah berusaha menutupi tubuhnya dari atas sampai bawah sehingga rambut dan kaki tidak terlihat. Namun, begitu salam telah diucapkan, maka keadaannya akan kembali seperti semula.
Mereka keluar rumah dengan mengenakan baju yang mereka sangka telah berdasarkan aturan Islam, akan tetapi kenyataannya tidak memenuhi syarat untuk menutupi aurat. Sehingga masuklah mereka ke dalam kategori “berbusana tetapi telanjang”. Seolah-olah menutup aurat hanya wajib ketika shalat semata atau sekedar kulit tidak terlihat lagi oleh mata lelaki lain. Wa ilallâhil musytaka (kepada Allâh Ta'âla lah tempat pengaduan).
إِذَا الْـمَرْأُ لَـمْ يَلْبِسْ لِبَاسًا مِنَ التُّقَى
تَقَلَّبَ عُرْيَانًا وَإِنْ كَانَ كَاسِيًا
وَ خَيْرُ لِبَاسِ الْـمَرْءِ طَاعَةُ رَبِّهِ
وَ لاَ خَيْرَ فِـيْمَنْ كَانَ عَاصِيًا
Apabila seseorang tidak mengenakan baju ketakwaan,
ia menjelma menjadi manusia telanjang kendati tubuhnya tertutupi.
Sebaik-baik pakaian adalah ketaatan kepada Rabbnya,
tiada kebaikan pada orang yang berbuat kemaksiatan

Apakah ada dalil tentang do'a setelah sholat??

Bismillah..
apakah ada hadits shahih tentang doa setelah selesai shalat? 
dan lafadz bunyi hadits fî duburi kulli shalat”, yang artinya adalah akhir shalat, bukan setelah shalat.

Jawab:
Memang sebagian orang beranggapan bahwa setelah shalat itu wajib tidak ada doa, yang ada adalah dzikir. Sedangkan doa, posisinya di dalam shalat, seperti dalam tasyahhud sebelum salam dan lainnya. Anggapan seperti ini tidak benar, karena sesungguhnya ada hadits-hadits shahih yang menunjukkan bahwa Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam berdoa setelah salam.
Diantara hadits-hadits tersebut adalah :
عَنْ الْبَرَاءِ قَالَ كُنَّا إِذَا صَلَّيْنَا خَلْفَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَحْبَبْنَا أَنْ نَكُونَ عَنْ يَـمِينِهِ يُقْبِلُ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ
قَالَ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ رَبِّ قِنِي عَذَابَكَ يَوْمَ تَبْعَثُ أَوْ تَجْمَعُ عِبَادَكَ
Dari al-Bara’ radhiyallâhu'anhu , dia berkata,
"Jika kami shalat di belakang Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam, kami senang berada di sebelah kanan beliau. Beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam akan menghadapkan wajahnya kepada kami. Aku pernah mendengar beliau berdo'a, 'Wahai Rabb-ku, jagalah aku dari siksa-Mu pada hari (kiamat) yang Engkau akan membangkitkan atau mengumpulkan hamba-hamba-Mu'”.

(HR.Muslim, no. 709)

Di dalam hadits lain disebutkan :
عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ ﻛَﺎنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِذَا سَلَّمَ مِنَ الصَّلَاةِ قَالَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ ﻟِﻲ مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ
وَمَا أَﺳْﺮَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ وَمَا أَﺳْﺮَفْتُ وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّي,
أَنْتَ الْـمُقَدِّمُ وَ أَنْتَ الْـمُؤَخَّرُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu'anhu, dia berkata,
"Kebiasaan Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam, jika telah mengucapkan salam (selesai) shalat, beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam berdo'a, 'Wahai Allâh Ta'âla ampunilah dosaku yang telah aku lakukan dan (dosa akibat dari kewajiban) yang telah aku tinggalkan, (dosa) yang aku rahasiakan dan yang aku lakukan dengan terang-terangan, yang aku telah melakukan dengan berlebihan dan segala dosa yang Engkau lebih mengetahuinya daripadaku. Engkau adalah Muqaddim (Dzat Yang memajukan orang yang Engkau kehendaki dengan sebab mentaati-Mu atau sebab lainnya) dan Muakhkhir (Yang memundurkan orang yang Engkau kehendaki). Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Engkau'".

(HR. Abu Dâwud, no. 1509; dishahihkan yaikh Al-Albâni rahimahullâh)
 
Hadits ini dimuat oleh imam Abu Dâwud  rahimahullâh dalam kitab Sunannya dalam bab: Mâ yaqûlur rajulu idza sallama (Apa yang diucapkan oleh seseorang jika telah selesai salam)

Doa-doa ini diucapkan oleh Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam sendirian, tidak berjamâ’ah -Pen. Oleh karena itu beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam menggunakan kata ganti tunggal, bukan jama’. Dalam hadits yang pertama, beliau  shallallâhu 'alaihi wa sallam mengatakan, “Wahai Rabb-ku, jagalah aku dari siksa-Mu…”, beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam tidak mengatakan “Wahai Rabb kami, jagalah kami dari siksa-Mu…”.
Dalam hadits yang kedua beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam mengatakan “Wahai Allâh ampunilah aku, (dosa) yang telah aku lakukan dan (kewajiban) yang telah aku tinggalkan…”. Beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam tidak mengatakan, “Wahai Allâh ampunilah kami, (dosa) yang telah kami lakukan dan (kewajiban) yang telah kami tinggalkan…”. Ini menunjukkan bahwa do'a ini diucapkan seorang diri.
Adapun kebiasaan yang dilakukan di berbagai masjid yaitu imam dan makmum selalu melakukan doa dengan berjamâ’ah setelah selesai shalat wajib, maka itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam , wallahu a’lam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh mengatakan, “Hadits-hadits yang dikenal dalam (kitab-kitab) Shahih, Sunan, dan Musnad, menunjukkan bahwa Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam biasa berdoa di akhir shalat sebelum keluar dari shalat. Beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam juga memerintahkan dan mengajarkan hal itu kepada para sahabatnya. Dan tidak ada seorangpun yang meriwayatkan, bahwa Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam berdoa setelah selesai (mengimami) shalat dengan banyak orang, begitu juga dengan para ma’mum, tidak (setelah) shalat Shubuh, Ashar atau shalat lainnya”. (Majmû’ Fatâwâ 22/492)

Adapun kalimat “fî duburi kulli shala” yang terdapat dalam banyak hadits, yang maknanya di akhir sholat, mencakup dua pengertian yaitu :
  1. Bagian akhir dalam shalat dan 
  2. Setelah shalat. 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh berkata, “Lafazh “dubur shalat”, terkadang maksudnya adalah bagian akhir dari shalat (ini berarti masih dalam sholat; sebelum salam-red), terkadang maksudnya adalah yang ada setelah bagian terakhir itu (sehingga ini setelah salam dari shalat-red)”. (Majmû’ Fatâwâ, 22/499)

Walaupun doa-doa shalat banyak dianjurkan dibaca dalam shalat atau dengan kata lain ketika shalat, dan itu lebih utama, sebagaimana dikatakan oleh 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh, “Inilah sunnah Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam yang sudah berjalan (berdoa dalam shalat dan berdzikir setelah shalat-red), dan ini sesuai (dengan keadaan-red), karena orang yang sedang shalat itu berbisik kepada Rabbnya, maka doanya dan permintaannya kepada Rabb ketika dia sedang berbisik kepada-Nya lebih utama daripada permintaannya dan doanya setelah berpaling dari-Nya”. (Majmû’ Fatâwâ, 22/499)

Namun demikian tidak berarti tidak ada doa setelah salam, berdasarkan hadits-hadits yang telah kami sampaikan.
 
 Wallahu a’lam