عَنْ أَبِـي سَعِيدٍ الْـخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ
إِيَّاكُمْ وَالْـجُلُوسَ بِالطُّرُقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ مَا بُدَّ لَنَا مِنْ مَـجَالِسِنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا
فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِنْ أَبَـيْتُمْ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهُ
قَالُوا وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ غَضُّ البَصَرِ وَ كَفُّ الأَذَى
وَ رَدُّ السَّلاَمِ وَاْلأَمْرُ بِالْـمَعْرُوفِ وَ النَّهْيُ عَنِ الْـمُنْكَرِ
إِيَّاكُمْ وَالْـجُلُوسَ بِالطُّرُقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ مَا بُدَّ لَنَا مِنْ مَـجَالِسِنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا
فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِنْ أَبَـيْتُمْ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهُ
قَالُوا وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ غَضُّ البَصَرِ وَ كَفُّ الأَذَى
وَ رَدُّ السَّلاَمِ وَاْلأَمْرُ بِالْـمَعْرُوفِ وَ النَّهْيُ عَنِ الْـمُنْكَرِ
Dari Abu Said Al-Khudry radhiallahu’anhu dari Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam, beliau bersabda:
"Jauhilah oleh kalian duduk-duduk di jalan".
Maka para Sahabat berkata:
"Kami tidak dapat meninggalkannya, karena merupakan tempat kami untuk bercakap-cakap".
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam berkata:
"Jika kalian enggan (meninggalkan bermajelis di jalan), maka berilah hak jalan".
Sahabat bertanya:
"Apakah hak jalan itu?"
Beliau menjawab:
"Menundukkan pandangan, menghilangkan gangguan, menjawab salam, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran."
Hadits di atas
menjelaskan, sekaligus membenarkan waqi' (kenyataan) pahit yang melanda
umat ini. Di mana mayoritas kaum muslimin sekarang banyak menghabiskan
waktunya untuk nongkrong di tempat-tempat keramaian atau tepi jalan,
sambil menikmati kemaksiatan dengan model dan corak yang bermacam-macam.
Kalau kita tanya, mereka akan menjawab, "Hanya cuci mata, refreshing,
menikmati pemandangan" dan yang semisalnya.
Padahal ketika kita
ajak mereka untuk hadir di majelis ta'lim, mengaji agama, merekapun
beralasan sibuk, capek, tidak punya waktu dan setumpuk alasan lain.
Bahkan karena kebenciannya dengan ilmu agama, tidak jarang di antara
mereka ada yang sengaja beralasan sakit, padahal tubuhnya sehat.
Ini adalah realita
pahit yang menimpa kaum muslimin sekarang ini, khususnya muda-mudi kita.
Sebagian mereka melupakan tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu beribadah
kepada Allâh. Merekapun lupa, waktu adalah modal utama yang tak akan
pernah kembali lagi jika sudah berlalu. Sedangkan kebahagiaan dan
kecelakaan hamba di akhirat sangat bergantung kepada cara mengisi
kehidupannya di dunia ini.
Apakah mereka tidak
sadar, pekerjaan mengumbar hawa nafsu itu akan mengundang murka Allâh
Ta’ala dan semakin menjauhkan mereka dari hidayah serta petunjuk-Nya?
Tidakkah mereka renungi, kelak mereka akan dimintai pertanggung-jawaban
tentang kesempurnaan nikmat (indra) yang mereka miliki?
Alangkah bahagianya
orang yang menghabiskan umurnya dalam ketaatan kepada Allâh Ta’ala,
orang yang menjauhkan diri dari segala bentuk kemaksiatan dan
kesia-siaan.
ASBABUL WURUD HADITS
Dari Aisyah
radhiyallâhu'anha, ia berkata: “Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam
(suatu ketika) mendatangi majelis kaum Anshor, lalu mengucapkan salam
kepada mereka, merekapun menjawab salam. Nabi tidak menyukai majelis
itu, lalu merekapun mengatakan: ‘Wahai Rasûlullâh, (ini) adalah majelis
yang dilakukan oleh bapak-bapak kami dulu di waktu jahiliyah, maka kami
ingin meramaikannya dengan duduk-duduk padanya’. Lalu Nabi shallallâhu
'alaihi wa sallam mengatakan: ‘Jika kalian enggan kecuali dengan
bermajelis maka jawablah salam, tundukkanlah pandangan dan tunjukilah
jalan.’
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini
dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhari dalam Adâbul Mufrad No.1150, Muslim
(Muktasharnya) dalam kitab: Adab, Bab Larangan Duduk di Jalan no. 1419
hal: 374. Abu Dawud dalam Bab Duduk di Jalan (4816).
Hadist yang semakna
juga di keluarkan oleh Ath-Thahawy dalam Musykilil Atsar 1/58, dan Al-
Bazâr dalam Musnadnya, 2/425/2018 (Kasyful astar) dari jalan Muhammad
bin Al-Mutsana dan Yazid bin Sinaan, keduanya berkata: telah
menceritakan kepada kami Abdullah bin Sinaan dari Abdullah bin Mubarak
dari Jarir bin Hazim dari Ishaq bin Suwaid dari Ibnu Hujairoh dari Umar,
dengan lafadz:
إِيَّاكُمْ وَالْـجُلُوسَ فِـيْ الصُعَدَاتِ فَإِنْ كُنْتُمْ لاَ بُدَّ فَاعِلِيْـنَ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهُ
قِيْلَ وَمَا حَقُّهُ؟ قَالَ غَضُّ البَصَرِ وَ رَدُّ السَّلاَمِ وَإِرْشَادُ الضَالِ
قِيْلَ وَمَا حَقُّهُ؟ قَالَ غَضُّ البَصَرِ وَ رَدُّ السَّلاَمِ وَإِرْشَادُ الضَالِ
Jauhilah oleh kalian duduk di jalan,
jika kalian mesti berbuat demikian, maka berilah hak jalan".
Ada yang bertanya: "Apakah hak jalan itu?"
Beliau menjawab:
"Menundukan pandangan, menjawab salam,
dan menunjuki orang yang tersesat."
jika kalian mesti berbuat demikian, maka berilah hak jalan".
Ada yang bertanya: "Apakah hak jalan itu?"
Beliau menjawab:
"Menundukan pandangan, menjawab salam,
dan menunjuki orang yang tersesat."
Syeikh Al-Albaniy
berkata dalam Silsilah Ahadits Shohihah 6/11-13: "Hadist ini shohih.
Hadits ini terdapat di dalam Shohihaini dan Adabul Mufrod 1150, Abu
Dawud 4815, Ibnu Hibban 594, dan Ath- Thahawy dan Ahmad 3/36 dari Said
Al-Khudry semisalnya secara marfu'. Demikian juga diriwayatkan oleh Imam
Muslim 7/2 dari hadits Abu Tolhah tanpa lafadz وَإِرْشَادُ الضَالِ (menunjukkan orang yang tersesat).
Dan Abu Said menambahkan :
وَ كَفُّ الأَذَى وَ رَدُّ السَّلاَمِ وَاْلأَمْرُ بِالْـمَعْرُوفِ وَ النَّهْيُ عَنِ الْـمُنْكَرِ
Menyingkirkan gangguan, menjawab salam,
memerintahkan yang baik dan mencegah yang mungkar.
memerintahkan yang baik dan mencegah yang mungkar.
Dan dalam riwayat Ahmad 3/61 dari jalan
Abdurrozaq di dalam Al-Musonnaf 11/20/19786, dari seorang rowi dari Abi
Said, dengan mengganti lafadz وَإِرْشَادُ الضَالِ dengan lafadz: وَأَرْشِدُوْا السَّائِلِ dan lafadz (ini) adalah semakna dengan lafadz وَإِرْشَادُ الضَالِ.
Hadits yang semakna dengan hadits ini diriwayatkan dari Abi Huroiroh, Barro' bin Azib, Abdullah bin Abbas dan Sahl bin Saad.
I. | Hadist Abi Huroiroh mempunyai dua jalan: |
||
a. |
Dari Ala' bin Abdurrohman dari bapaknya dari Abi Hurairoh: ia menyebutkan hadits tersebut dengan lafadz:
إِدْلاَلُ السَّائِلِ وَرَدُّ السَّلاَمِ وَغَضُّ الْبَصَرِ وَاْلأَمْرُ بِالْـمَعْرُوفِ وَ النَّهْيُ عَنِ الْـمُنْكَرِ
Menunjuki orang yang bertanya, menjawab salam,
menundukkan pandangan, memerintah kan yang baik dan mencegah yang mungkar.
(Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Adabul Mufrod (1049)
Aku (Al-albany) berkata: "Sanadnya shohih sesuai dengan syarat Muslim."
|
||
b. |
Dari Abdirrohman bin Ishaq dari said Al-Maqburiy dari Abi Huroiroh dengan lafadz:
وَغَضُّ الْبَصَرِ , وَإِرْشَادُ ابْنِ السَّبِيْلِ ,تَشْمِيْتُ الْعَاطِسِ إِذَا حَمِدَ اللهَ ,وَرَدُّ التَّحِيَّةِ
Menundukan pandangan, menunjukkan Ibnu sabil, mendoakan orang yang bersin apabila dia mengucapkan hamdallâh, dan menjawab salam.
Hadist ini juga di riwayatkan oleh Imam Bukhari
(1014), Abu Dawud (4816), Ibnu Hibban (595). Dan sanadnya jayyid (bagus)
menurut syarat Muslim.
|
||
II. |
Hadist Barro' diriwayatkan oleh Syu'bah dan yang lainya dari Abi Ishaq dari Abu Hurairoh dengan lafadz:
فَرَدُّوْا السَّلاَمَ ,وَأَعِيْـنُوْا الْـمَظْلُوْمَ ,وَاهْدُوْا السَّبِيْلَ
Maka jawablah salam, dan tolonglah orang yang teraniaya,
dan tunjukkanlah jalan. (Hadist ini di keluarkan oleh Timidzi: 2727, Ad-Darimy: 2/282, Ibnu Hibban: 596, juga Ath-Thahawy, Ahmad 4/282, 291, 393, 304.)
At-Tirmidzi berkata: "Ini adalah hadits hasan."
Aku (Al-Albany) berkata: "Ini adalah hadits shohih karena shayid-syahidnya (penguat-penguat) yang terdahulu. Sedangkan kalimat وَأَعِيْـنُوْا الْـمَظْلُوْمَ (tolonglah orang yang teraniaya) juga tersebut di dalam Shohihaini dari jalan lain dari Barro' dengan lafadz:
أُمِرْنَا بِسَبْعٍ ... (الحديث)
Kami diperintahkan untuk mengerjakan tujuh perkara……
(al-hadits)". Dan Imam Muslim menyebutkan dalam riwayatnya 6/135 dengan lafadz إِرْشَادُ الضَّالِ (menunjukkan orang yang tersesat). |
||
III. |
Hadist Ibnu Abbas, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Laila
dari Dawud bin Ali dari bapaknya dari kakeknya yaitu Abdullah bin Abbas
dengan lafadz:
فَرَدُّوْا السَّلاَمَ ,وَ غَضُّوْا البَصَرَ ,وَاهْدُوْا السَّبِيْلَ وَأَعِيْـنُوْا عَلَى الْـحَمُوْلَةَ
Maka jawablah salam, tundukkanlah pandangan,
tunjukilah jalan serta tolonglah beban seseorang.
Hadist ini di keluarkan oleh Al-Bazaar 2019 dan
berkata: "Kami tidak mengetahui dari Ibnu Abbas selain dari jalan ini,
dan telah diriwayatkan dari jalan lain dengan beberapa lafadz. Tetapi
kami tidak mengetahui hadits: وَأَعِيْـنُوْا عَلَى الْـحَمُوْلَةَ (tolonglah
beban seseorang) selain hadits ini. Adapun Dawud tidak kuat dalam
haditsnya dan jangan dianggap dia selalu benar haditsnya, tetapi dapat
ditulis manakala perawi lain tidak ada yang meriwayatkan."
Aku Al-Albany berkata: "Dan Ibnu Abi Laila –namanya
adalah Muhammad bin Abdirrohman– jelek hafalannya, sebagaimana cacat
tersebut telah diterangakan oleh Al-Haitsamy. Ia mengatakan seperti apa
yang di katakan oleh Ibnu Hajar dalam Zawaid Al- Bazzar 2/211.
|
||
IV. |
Hadits Sahl, diriwayatkan oleh Abu Ma'syar, dia
berkata: Abu Bakr bin Abdirrohman Al-Anshori telah menceritakan kepada
kami dari Sahl, dengan lafadz:
قَالُوْا : وَمَا حَقُّ الْـمَجْلِسِ؟ قَالَ ذِكْرُ اللهِ كَثِيْـرًا وَإِرْشَادُ السَّبِيْلِ, وَغَضُّ الْبَصَرِ
Mereka bertanya: "Apa hak majelis?", Rasulullah menjawab: "Banyak mengingat Allâh, menunjukkan jalan,
dan menundukan pandangan." (Hadist ini dikeluarkan oleh Ath-Thabrony dalam Al-Kabir 6/105/5592) |
Adapun hadits Wahsyi, diriwayatkan oleh Wahsyi bin Harb bin Wahsyi dari bapaknya dari kakeknya dengan lafadz:
فَرَدُّوْا السَّلاَمَ , وَغَضُّوْا مِنْ أَبْصَارِكُمْ ,وَاهْدُوْا اْلأَعْمَى ,وَأَعِيْـنُوْا الْـمَظْلُوْمَ
Maka jawablah salam, tundukkanlah pandangan kalian
dan tunjukkilah orang yang buta serta tolonglah orang yang teraniaya.
(Hadist ini dikeluarkan oleh Ath-Thabrony juga 22/138/367)
dan tunjukkilah orang yang buta serta tolonglah orang yang teraniaya.
(Hadist ini dikeluarkan oleh Ath-Thabrony juga 22/138/367)
Al-Haitsamy berkata: "Perawinya adalah terpercaya, dan sebagiannya adalah lemah".
Aku (Al-albany) berkata: "Harb bin Wahsyi tidaklah
dikuatkan kecuali oleh Ibnu Hibban 4/173, dia mempunyai kesamaran,
seperti yang saya jelaskan dalam kitab Taisiril Intifa'."
BIOGRAFI PERAWI HADITS
Untuk lebih berfaedah dan mempermudah kita dalam
memahami kandungan satu hadits, maka perlu mengetahui biografi perawi
hadits, untuk menambah keyakinan dan kemantapan dalam mengamalkannya.
Manfaat lain, kita dapat mengenal hal ihwal para sahabat yang dapat
menambah kecintaan kita terhadap mereka.
Perawi hadits ini, seorang sahabat yang terkenal
yaitu Said bin Malik bin Sinaan Al-Anshory Al-Khozrojy Al-Khudry,
dikenal juga dengan kunyahnya yaitu Abu Said. Beliau seorang ahli fiqh,
mujtahid dan pernah menjabat mufti Madinah. Beliau selalu mendampingi
Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam dan banyak meriwayatkan hadits
darinya. Beliau berperang bersama Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam
sebanyak 12 kali, di antaranya perang Khondak, Bai'atur Ridwan dan
lain-lain. Meninggal di kota Madinah padah tahun 74 H. Sedangkan
bapaknya bernama Malik meninggal di perang Uhud.
PENJELASAN MAKNA HADITS
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam melarang
umatnya duduk di jalanan, baik di atas ranjang, kursi atau hanya di atas
tanah, baik yang beralas atau tidak. Larangan tersebut akhirnya
dirasakan berat oleh para sahabat, sehingga mereka mengadu kepada
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam sembari mengatakan:
"Wahai Rasûlullâh, ini adalah kebiasaan kami dalam
memperbincangkan sesuatu masalah, baik yang berhubungan dengan agama,
dunia atau kebaikan yang lainnya. Kami merasa senang dengan hal ini."
Sebenarnya para sahabatpun memahami, Nabi shallallâhu
'alaihi wa sallam tidaklah bermaksud melarang mereka secara mutlak
apalagi mengharamkan perbuatan mereka. Karena larangan itu sebenarnya
tidak ditujukan kepada perbuatan mereka, akan tetapi ditujukan kepada
hal-hal yang berhubungan dengan hak orang yang lewat di jalan. Oleh
karena itu Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam tidak melarang
mereka, ketika mereka mau memperhatikan apa yang menjadi hak jalan.
Di antara hak jalan tersebut adalah:
Inilah beberapa adab yang harus diperhatikan oleh orang yang duduk di jalan. Dari empat adab yang telah dijelaskan hadits di atas, terdapat penambahan adab dalam riwayat hadits yang lain, yaitu:
- Riwayat Abu Dawud, dengan tambahan ‘Menunjukan ibnu sabil dan mendoakan orang bersin apabila ia memuji Allâh’.
- Riwayat Said bin Mansur dengan tambahan: ‘Menolong orang yang ketakutan.’
- Riwayat Al-Bazaar dengan tambahan: ‘Membantu orang yang kesusahan.’
- Riwayat Ath-Thabrani dengan tambahan: ‘Menolong orang yang teraniaya serta banyak berdzikir kepeda Allâh.
Semua riwayat di atas menunjukan urgensi (arti
pentingnya) berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur di manapun berada.
Baik terhadap sesama muslim ataupun orang kafir, walaupun saat duduk di
pinggir jalan. Karena akhlak mulia merupakan simbol kesempurnaan iman
seorang muslim. Hal itu dapat diwujudkan dengan cara meneladani akhlak
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam.
Allâh Ta'âla berfirman (yang artinya):
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu
suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh
dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allâh.
(QS. al-Ahzab/33:21)
suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh
dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allâh.
(QS. al-Ahzab/33:21)
Beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam adalah sebaik-baik suri tauladan dan benar-benar berakhlak mulia.
Allâh berfirman (yang artinya):
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.
(QS. al-Qalam/68:4)
Jelaslah, akhlak yang mulia dapat diwujudkan dengan meneladani akhlak
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam. Sehingga dengan demikian
ketinggian akhlak dan kesempurnaan syariat islam sajalah yang akan tetap
nampak sampai akhir zaman.(QS. al-Qalam/68:4)
MUTIARA FAIDAH HADITS
Ketahuilah bahwa di dalam hadits-hadits ini terdapat
sekumpulan adab-adab islam yang sangat baik dan penting. Yaitu etika
duduk di jalan dan serambi rumah. Sudah seyogyanya seorang muslim
memberi perhatian yang besar dalam hal ini. Apalagi di antara adab-adab
tersebut ada yang berupa kewajiban, seperti menundukkan pandangan dari
wanita. Ini merupakan perkara yang sudah ditegaskan dalam Al Quran dan
banyak diperintahkan dalam hadits Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa
sallam.
Allâh Ta'âla berfirman (yang artinya)
Katakanlah kepada laki-laki yang beriman,
"Hendaklah mereka menahan pandangannya,
dan memelihara kemaluannya;
yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka,
sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".
(QS. an-Nûr/24: 30)
"Hendaklah mereka menahan pandangannya,
dan memelihara kemaluannya;
yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka,
sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".
(QS. an-Nûr/24: 30)
Apabila perintah Allâh ini ditujukan langsung kepada generasi pertama yang suci, sedangkan sebagian wanita waktu itu tidaklah terlihat kecuali tangan dan mukanya, maka perintah menundukkan pandangan di zaman sekarang semakin kuat. Apalagi sekarang sudah banyak dijumpai wanita berpakaian tetapi telanjang, mereka termasuk ahli neraka sebagaimana yang disabdakan oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam :
Ada dua golongan dari penduduk neraka
yang belum pernah aku lihat keduanya …
Wanita berpakaian tapi telanjang,
(berjalan) sambil condong serta berlenggaklenggok,
kepala mereka seperti punuk unta,
mereka tidak akan masuk surga…
(Al-Hadits)
yang belum pernah aku lihat keduanya …
Wanita berpakaian tapi telanjang,
(berjalan) sambil condong serta berlenggaklenggok,
kepala mereka seperti punuk unta,
mereka tidak akan masuk surga…
(Al-Hadits)
Maka wajib bagi seorang muslim –khususnya para kawula
muda– untuk menundukkan pandangan mereka, dari melihat gambar telanjang
(porno) yang memicu diri mereka dan mendorong daya nafsu mereka. Jika
mampu, hendaklah mereka segera menikah untuk menjaga nafsu mereka. Jika
mereka tidak mampu, hendaklah berpuasa, karena puasa merupakan penawar,
sebagaimana sabda Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam. Janganlah
mereka melakukan istimna' (onani) sebagai ganti dari berpuasa, sehingga mereka menjadi orang-orang yang dimurkai oleh Allâh seperti firman-Nya (yang artinya):
"Apakah kamu mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang baik?"
(QS. al-Baqarah/2:61)
(QS. al-Baqarah/2:61)
Saya memohon kepada Allâh, agar berkenan menjadikan
kita dan seluruh kaum muslimin selalu dalam ketaatan kepada-Nya. Dan
supaya Allâh memalingkan kita dari kemaksiatan yang tidak Dia ridhai,
sesungguhnya Allâh Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan.
KESIMPULAN DAN PENUTUP
Pada asalnya hukum duduk di pinggir jalan atau
nongkrong di depan keramaian adalah perkara mubah, selama tidak
mengganggu atau merugikan kepentingan orang lain, dengan alasan:
Kedua. Karena tidak adanya dalil qat'i yang mengharamkam perbuatan tersebut.
Akan tetapi ingatlah wahai saudaraku, meninggalkan
sesuatu yang tidak bermanfaat itu, tentu lebih utama dan mulia. Terlebih
lagi bagi seorang thalibul ilmi syar'iy as-salafy, ia harus menjaga
muru'ah (kehormatan) yang sangat dianjurkan dalam syariat. Sibramilisy
dalam catatan pinggir kitab Nihayatul Muhtaj 1/299 mengatakan: "Merokok,
minum kopi dalam warung di pasar adalah suatu perbuatan yang dapat
menghilangkan muru'ah seseorang, walaupun pelakunya merasa malu dengan
perbuatannya."
Mudah-mudahan kita diberi kekuatan lahir dan batin
untuk tetap istiqamah di atas perintah-Nya dan di atas sunnah Nabi-Nya.
Sehingga kita mampu meninggalkan hal-hal-yang tidak berfaedah, sekecil
apapun. Sebagaimana sabda Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam :
Di antara tanda kesempurnaan islam seseorang adalah
meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.
meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.
Mudah-mudahan tulisan ini bisa menggugah khususnya para kaum muda dan kepada kaum muslimin umumnya untuk bisa memanfaatkan waktu lebih baik lagi dengan hanya beribadah kepada Allâh, karena kita tidak tahu kapan akhir hayat kita.
(Oleh: Ahmad Hamidin As-Sidawy)
makasih ka
BalasHapus