Kenapa karyawan muslim haram memakai atribut natal

Bismillahirrahmanirrahim

Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah. Shalawat dan salam atas Rasulullah –Shallallahu ‘Alaih Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.

Menjelang Natal pusat-pusat perbelanjaan ramai dengan pernak-pernik Natal. Bahkan, sejak awal bulan Desember pohon natal dengan hiasan lampu sudah bercokol di pintu masuk mal-mal. Pemandangan ini sangat kontras dengan jumlah penduduk negeri ini yang mayoritasnya muslim. Seolah-olah mayoritas penduduk Indonesia ini ikut merayakan hari besar agama Kristen dalam rangka memperingati kelahiran ‘Jesus’ yang mereka tuhankan itu.

Selain pohon Natal, kemeriahan hari Crismash ditandai dengan pernak-pernik Kostum Santaclaus (Sinterklas) berupa Jubah, baju, celana, topi, ikat pinggang dan janggut palsu. Anehnya, tidak sedikti yang mengenakannya adalah pekerja atau karyawan muslim. Entah terencana sebagai bagian Kristenisasi ataukah hanya untuk menarik perhatian pembeli semata, kebijakan tersebut telah menodai keyakinan umat muslim.

Di satu sisi, pekerja-pekerja muslim tersebut terlihat menikmati tampilannya yang aneh itu. Entah sadar ataukah tidak bahwa perbuatan yang menyerupai orang kafir tersebut diharamkan dalam Islam. Pastinya, tindakan seorang muslim tersebut bertentangan dengan akidah Islamnya.

Hakikat Natal

Hari raya Natal yang juga lazim disebut hari Crismash diyakini kaum Nasrani sebagai hari kelahiran al-Masih atau Jesus yang diklaim sebagai tuhan atau anak Tuhan. Sementara dalam akidah Islam, Al-Masih Isa bin Maryam adalah Nabi dan Rasul Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dia bukan anak Tuhan dan bukan Tuhan itu sendiri.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah sangat murka dengan tuduhan bahwa Dia menjadikan Isa sebagai putera-Nya; dan membantahnya melalui Firman-Nya dalam Al-Qur’an,

وَأَنَّهُ تَعَالَى جَدُّ رَبِّنَا مَا اتَّخَذَ صَاحِبَةً وَلَا وَلَدًا

“Dan bahwasanya Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami, Dia tidak beristri dan tidak (pula) beranak.” (QS. Al-Jin: 3)
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَنَّى يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُنْ لَهُ صَاحِبَةٌ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-An’am: 101)

Allah mengabarkan bahwa Dia Mahakaya tidak butuh kepada yang selain-Nya. Dia tidak butuh mengangkat seorang anak dari makhluk-Nya.

قَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا سُبْحَانَهُ هُوَ الْغَنِيُّ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ إِنْ عِنْدَكُمْ مِنْ سُلْطَانٍ بِهَذَا أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

“Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata: "Allah mempunyai anak". Maha Suci Allah; Dia-lah Yang Maha Kaya; kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Kamu tidak mempunyai hujjah tentang ini. Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” (QS. Yunus: 68)

Dalam akidah Islam sikap umat Kristiani yang telah menjadikan Isa putra Maryam sebagai Tuhan atau satu dari tiga oknum Tuhan adalah sikap lancang terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Di mana jika Allah punya anak maka ada selain Diri-Nya yang memiliki sifat Ketuhanan. Karena setiap anak anak itu mewarisi sifat yang dimiliki orang tuanya.

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلَّا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” (QS. Al-Maidah: 73)

Allah menggambarkan murkanya langit dan bumi atas perkataan umat Kristiani tersebut, hampir-hampir membuat langit pecah dan bumi terbelah karenanya.

"Dan mereka berkata: 'Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak'. Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar. Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba." (QS. Maryam: 88-93)

Oleh sebab itu, tidak boleh muslim yang meyakini Allah sebagai Tuhan yang Esa; tiada Tuhan yang benar selain Dia, dan meyakini Isa bin Maryam sebagai hamba Allah dan utusan-Nya ridha dan suka rela melakukan sesuatu yang memeriahkan perayaan yang berisi penghinaan dan kekufuran terhadap Allah tersebut.

Keyakinan Natal dan perayaannya bagian dari kemungkaran dan kebatilan. Hamba Allah yang beriman berlepas diri darinya dan tidak mau terlibat di dalamnya. Allah Ta'ala menyifati Ibadurrahman bersih dari semua itu:

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ

"Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu. . ." (QS. Al Furqaan: 72) 
Makna al Zuur, adalah hari raya dan hari besar kaum musyrikin sebagaimana yang dikatakan Ibnu Abbas, Abul 'Aliyah, Ibnu sirin, dan ulama lainnya dari kalangan sahabat dan tabi'in.

Memakai Atribut Natal : Tasyabbuh Haram

Dalil haramnya mengenakan atribut Natal yang salah satunya kostum Santa Klause karena perbuatan tersebut menyerupai orang kafir dalam mengagungkan keyakinan batil. Sedangkan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud dan dishahihkan Ibnu Hibban)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullaah dalam bukunya Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim Mukhalafah Ashab al-Jahim menyebutkan, “Menyerupai mereka dalam sebagian hari raya milik mereka menumbuhkan rasa senang pada hati mereka (kaum muslimin) terhadap keyakinan batil mereka.” Demikian ucapan beliau rahimahullah.

Dan barangsiapa melakukan perbuatan tersebut (memakai topi dan atribut Santaclause), maka ia berdosa, baik ia melakukannya sekedar pekerjaan yang menghasilkan uang, karena tidak enak dengan atasan atau sebab lainnya. Karena perbuatan tersebut termasuk bentuk mudahanan (penyepelan) terhadap agama Allah dan bisa menyebabkan teguhnya jiwa kaum kuffar dan membanggakan agama mereka. Wallahu A’lam
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah. Shalawat dan salam atas Rasulullah –Shallallahu ‘Alaih Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Menjelang Natal pusat-pusat perbelanjaan ramai dengan pernak-pernik Natal. Bahkan, sejak awal bulan Desember pohon natal dengan hiasan lampu sudah bercokol di pintu masuk mal-mal. Pemandangan ini sangat kontras dengan jumlah penduduk negeri ini yang mayoritasnya muslim. Seolah-olah mayoritas penduduk Indonesia ini ikut merayakan hari besar agama Kristen dalam rangka memperingati kelahiran ‘Jesus’ yang mereka tuhankan itu.
Selain pohon Natal, kemeriahan hari Crismash ditandai dengan pernak-pernik Kostum Santaclaus (Sinterklas) berupa Jubah, baju, celana, topi, ikat pinggang dan janggut palsu. Anehnya, tidak sedikti yang mengenakannya adalah pekerja atau karyawan muslim. Entah terencana sebagai bagian Kristenisasi ataukah hanya untuk menarik perhatian pembeli semata, kebijakan tersebut telah menodai keyakinan umat muslim.
Di satu sisi, pekerja-pekerja muslim tersebut terlihat menikmati tampilannya yang aneh itu. Entah sadar ataukah tidak bahwa perbuatan yang menyerupai orang kafir tersebut diharamkan dalam Islam. Pastinya, tindakan seorang muslim tersebut bertentangan dengan akidah Islamnya.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/aqidah/2014/12/09/34389/alasan-karyawan-muslim-haram-kenakan-atribut-natal/#sthash.5XCauYZv.dpuf

Bolehkah menerima hadiah dari hari raya orang kafir ????

Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh...
Bismillahirrahmanirrahim

Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.

Pada dasararnya dibolehkan memberi hadiah kepada orang kafir atau menerima hadiah dari mereka. Khususnya, jika disertai misi melunakkan hati mereka ke Islam.

Umar bin Khathab pernah memberikan hadiah sebuah baju kepada saudaranya yang musyrik semasa di Makkah." (HR. Al-Bukhari, no. 2619)

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah menerima hadiah dari sebagian orang kafir seperti dari Muqauqis dan selainnya.

Tetapi tidak boleh memberikan hadiah kepada orang kafir pada salah satu dari hari besar mereka, karena hal itu terhitung sebagai bentuk pengakuan dan kerja sama (ikut serta) dalam perayaan hari besar yang batil. Dan apabila hadiah itu berupa sesuatu yang digunakan untuk perayaan seperti makanan, lilin, dan semisalnya maka keharamannya tentu lebih besar. Sehingga sebagian ulama menghukuminya sebagai perbuatan kufur.

Bahkan seorang muslim tidak dibolehkan memberikan hadiah kepada muslim lainnya karena hari raya tersebut, sebagaimana yang telah disebutkan dalam pendapat ulama Hanafi.

    . . . tidak boleh memberikan hadiah kepada orang kafir pada salah satu dari hari besar mereka,

    karena hal itu terhitung sebagai bentuk pengakuan dan kerja sama (ikut serta) dalam perayaan hari besar yang batil . . .
Adapun menerima hadiah dari orang kafir di hari besar mereka, tidak apa-apa. Itu tidak terhitung sebagai ikut serta dan pengakuan akan hari raya mereka. Tapi harus diperhatikan, menerimanya atas dasar al-birr (bersikap baik), melunakkan hatinya dan mendakwahinya untuk masuk Islam.

Allah Ta'ala membolehkan berbuat baik dan adil terhadap orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin daam firman-Nya,

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

"Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada emerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Tetapi berbuat baik dan adil tidak berarti berkasih sayang dan mencintai. Karena tidak boleh mencintai dan berkasih sayang dengan orang kafir serta tidak menjadikannya sahabat dan teman dekat. Allah Ta'ala berfirman,

"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat) Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung." (QS. Al-Mujadilah: 22)

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu. . . ." (QS. Al-Mumtahanah: 1)
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya." (QS. Ali Imran: 118) dan masih banyak lagi dalil-dalil lain yang mengharamkan berkasih sayang dan berkawan karib dengan orang kafir.

Syaikhul Islam al-Harrani Rahimahullah berkata, "Adapun menerima hadiah dari mereka pada hari raya mereka maka telah kami jelaskan riwayat dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'Anhu, dibawakan hadiah Nairuz (tahun baru Persia) kepadanya, lalu ia menerimanya."

Diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, ada seorang wanita yang meminta kepada Aisyah. Ia berkata, "Pada kami ada wanita-wanita yang menyusui dari kalangan Majusi, mereka memiliki hari raya, lalu mereka memberikan hadiah kepada kami. Maka Aisyah menjawab: Adapun yang dsiembelih untuk acara hari tersebut maka janganlah kalian memakannya. Tetapi makanlah dari hasil tanaman mereka."

Dari Abu Barzah, ia memiliki tetangga orang-orang Majusi, mereka memberikan hadiah kepadanya pada hari Nairuz dan festifal mereka. Kemudian ia berkata kepada keluarganya: 'Jika berbentuk buah-buahan, maka makanlah. Dan yang selain itu maka jangan kalian memakannya.'

Semua ini menunjukkan hari besar keagamaan tidak berpengaruh untuk menolah hadiah dari orang-orang kafir. Bahkan pada dasarnya, menerima hadiah mereka itu hukumnya sama, baik pada saat hari raya mereka atau bukan. Sebabnya, dalam menerima hadiah tidak ada unsur menolong mereka atas kemeriahan syiar-syiar kekafiran mereka.

    . . . hari besar keagamaan tidak berpengaruh untuk menolah hadiah dari orang-orang kafir. . .

Ibnu Taimiyah memperingatkan, sembelihan ahli kitab pada dasarnya halal, kecuali apa yang mereka sembelih untuk perayaan hari rayanya, maka tidak boleh memakanya. Beliau berkata, "Sesungguhnya boleh memakan makanan ahli kita pada hari raya mereka, baik dengan jual-beli, hadiah, atau lainnya selain yang mereka sembelih untuk hari raya." (al-Iqtidha': 1/251)

Kemudian beliau menyebutkan riwayat dari Imam Ahmad yang berpendapat, tidak halal memakannya walau tidak disebut nama selain Allah Ta'ala atasnya. Beliau rahimahullah juga menguatkan kesimpulannya tersebut pada riwayat yang berasal dari Aisyah dan Abdullah bin Umar.

Pada ringkasnya, boleh menerima hadiah dari tetangga yang Nashrani pada hari raya mereka dengan beberapa syarat:

Pertama, hadiah ini tidak berupa sembelihan (daging hewan) yang disembelih untuk merayakan hari raya tersebut.

Kedua, hadiah tersebut tidak termasuk yang digunakan untuk bertasyabbuh pada hari raya mereka, seperti lilin, pakain sinterklaus, trompet, dan asesoris natal lainnya.

Ketiga, hendaknya dijelaskan kepada anggota keluarga muslim hakikat aqidah al-wala' dan bara' sehingga tidak tertanam rasa cinta terhadap hari raya ini atau berharap hadiah dari orang Kristen saat natal.

Perlu diingat, dalam menerima hadiah harus diniatkan untuk melunakkan hatinya dan membuat ia tertarik kepada Islam, bukan karena cinta dan sayang kepada mereka. Wallahu A’lam.
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Pada dasararnya dibolehkan memberi hadiah kepada orang kafir atau menerima hadiah dari mereka. Khususnya, jika disertai misi melunakkan hati mereka ke Islam.
Umar bin Khathab pernah memberikan hadiah sebuah baju kepada saudaranya yang musyrik semasa di Makkah." (HR. Al-Bukhari, no. 2619)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah menerima hadiah dari sebagian orang kafir seperti dari Muqauqis dan selainnya.
Tetapi tidak boleh memberikan hadiah kepada orang kafir pada salah satu dari hari besar mereka, karena hal itu terhitung sebagai bentuk pengakuan dan kerja sama (ikut serta) dalam perayaan hari besar yang batil. Dan apabila hadiah itu berupa sesuatu yang digunakan untuk perayaan seperti makanan, lilin, dan semisalnya maka keharamannya tentu lebih besar. Sehingga sebagian ulama menghukuminya sebagai perbuatan kufur.
Bahkan seorang muslim tidak dibolehkan memberikan hadiah kepada muslim lainnya karena hari raya tersebut, sebagaimana yang telah disebutkan dalam pendapat ulama Hanafi.
. . . tidak boleh memberikan hadiah kepada orang kafir pada salah satu dari hari besar mereka,
karena hal itu terhitung sebagai bentuk pengakuan dan kerja sama (ikut serta) dalam perayaan hari besar yang batil . . .
Adapun menerima hadiah dari orang kafir di hari besar mereka, tidak apa-apa. Itu tidak terhitung sebagai ikut serta dan pengakuan akan hari raya mereka. Tapi harus diperhatikan, menerimanya atas dasar al-birr (bersikap baik), melunakkan hatinya dan mendakwahinya untuk masuk Islam.
Allah Ta'ala membolehkan berbuat baik dan adil terhadap orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin daam firman-Nya,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
"Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada emerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (QS. Al-Mumtahanah: 8)
Tetapi berbuat baik dan adil tidak berarti berkasih sayang dan mencintai. Karena tidak boleh mencintai dan berkasih sayang dengan orang kafir serta tidak menjadikannya sahabat dan teman dekat. Allah Ta'ala berfirman,
"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat) Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung." (QS. Al-Mujadilah: 22)
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu. . . ." (QS. Al-Mumtahanah: 1)
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya." (QS. Ali Imran: 118) dan masih banyak lagi dalil-dalil lain yang mengharamkan berkasih sayang dan berkawan karib dengan orang kafir.
Syaikhul Islam al-Harrani Rahimahullah berkata, "Adapun menerima hadiah dari mereka pada hari raya mereka maka telah kami jelaskan riwayat dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'Anhu, dibawakan hadiah Nairuz (tahun baru Persia) kepadanya, lalu ia menerimanya."
Diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, ada seorang wanita yang meminta kepada Aisyah. Ia berkata, "Pada kami ada wanita-wanita yang menyusui dari kalangan Majusi, mereka memiliki hari raya, lalu mereka memberikan hadiah kepada kami. Maka Aisyah menjawab: Adapun yang dsiembelih untuk acara hari tersebut maka janganlah kalian memakannya. Tetapi makanlah dari hasil tanaman mereka."
Dari Abu Barzah, ia memiliki tetangga orang-orang Majusi, mereka memberikan hadiah kepadanya pada hari Nairuz dan festifal mereka. Kemudian ia berkata kepada keluarganya: 'Jika berbentuk buah-buahan, maka makanlah. Dan yang selain itu maka jangan kalian memakannya.'
Semua ini menunjukkan hari besar keagamaan tidak berpengaruh untuk menolah hadiah dari orang-orang kafir. Bahkan pada dasarnya, menerima hadiah mereka itu hukumnya sama, baik pada saat hari raya mereka atau bukan. Sebabnya, dalam menerima hadiah tidak ada unsur menolong mereka atas kemeriahan syiar-syiar kekafiran mereka.
. . . hari besar keagamaan tidak berpengaruh untuk menolah hadiah dari orang-orang kafir. . .
Ibnu Taimiyah memperingatkan, sembelihan ahli kitab pada dasarnya halal, kecuali apa yang mereka sembelih untuk perayaan hari rayanya, maka tidak boleh memakanya. Beliau berkata, "Sesungguhnya boleh memakan makanan ahli kita pada hari raya mereka, baik dengan jual-beli, hadiah, atau lainnya selain yang mereka sembelih untuk hari raya." (al-Iqtidha': 1/251)
Kemudian beliau menyebutkan riwayat dari Imam Ahmad yang berpendapat, tidak halal memakannya walau tidak disebut nama selain Allah Ta'ala atasnya. Beliau rahimahullah juga menguatkan kesimpulannya tersebut pada riwayat yang berasal dari Aisyah dan Abdullah bin Umar.
Pada ringkasnya, boleh menerima hadiah dari tetangga yang Nashrani pada hari raya mereka dengan beberapa syarat:
Pertama, hadiah ini tidak berupa sembelihan (daging hewan) yang disembelih untuk merayakan hari raya tersebut.
Kedua, hadiah tersebut tidak termasuk yang digunakan untuk bertasyabbuh pada hari raya mereka, seperti lilin, pakain sinterklaus, trompet, dan asesoris natal lainnya.
Ketiga, hendaknya dijelaskan kepada anggota keluarga muslim hakikat aqidah al-wala' dan bara' sehingga tidak tertanam rasa cinta terhadap hari raya ini atau berharap hadiah dari orang Kristen saat natal.
Perlu diingat, dalam menerima hadiah harus diniatkan untuk melunakkan hatinya dan membuat ia tertarik kepada Islam, bukan karena cinta dan sayang kepada mereka. Wallahu A’lam.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/aqidah/2014/12/24/34682/orang-kafir-kasih-hadiah-di-hari-besar-mereka-tak-apaapa-menerimanya/#sthash.qwwDtin3.dpuf
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Pada dasararnya dibolehkan memberi hadiah kepada orang kafir atau menerima hadiah dari mereka. Khususnya, jika disertai misi melunakkan hati mereka ke Islam.
Umar bin Khathab pernah memberikan hadiah sebuah baju kepada saudaranya yang musyrik semasa di Makkah." (HR. Al-Bukhari, no. 2619)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah menerima hadiah dari sebagian orang kafir seperti dari Muqauqis dan selainnya.
Tetapi tidak boleh memberikan hadiah kepada orang kafir pada salah satu dari hari besar mereka, karena hal itu terhitung sebagai bentuk pengakuan dan kerja sama (ikut serta) dalam perayaan hari besar yang batil. Dan apabila hadiah itu berupa sesuatu yang digunakan untuk perayaan seperti makanan, lilin, dan semisalnya maka keharamannya tentu lebih besar. Sehingga sebagian ulama menghukuminya sebagai perbuatan kufur.
Bahkan seorang muslim tidak dibolehkan memberikan hadiah kepada muslim lainnya karena hari raya tersebut, sebagaimana yang telah disebutkan dalam pendapat ulama Hanafi.
. . . tidak boleh memberikan hadiah kepada orang kafir pada salah satu dari hari besar mereka,
karena hal itu terhitung sebagai bentuk pengakuan dan kerja sama (ikut serta) dalam perayaan hari besar yang batil . . .
Adapun menerima hadiah dari orang kafir di hari besar mereka, tidak apa-apa. Itu tidak terhitung sebagai ikut serta dan pengakuan akan hari raya mereka. Tapi harus diperhatikan, menerimanya atas dasar al-birr (bersikap baik), melunakkan hatinya dan mendakwahinya untuk masuk Islam.
Allah Ta'ala membolehkan berbuat baik dan adil terhadap orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin daam firman-Nya,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
"Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada emerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (QS. Al-Mumtahanah: 8)
Tetapi berbuat baik dan adil tidak berarti berkasih sayang dan mencintai. Karena tidak boleh mencintai dan berkasih sayang dengan orang kafir serta tidak menjadikannya sahabat dan teman dekat. Allah Ta'ala berfirman,
"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat) Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung." (QS. Al-Mujadilah: 22)
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu. . . ." (QS. Al-Mumtahanah: 1)
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya." (QS. Ali Imran: 118) dan masih banyak lagi dalil-dalil lain yang mengharamkan berkasih sayang dan berkawan karib dengan orang kafir.
Syaikhul Islam al-Harrani Rahimahullah berkata, "Adapun menerima hadiah dari mereka pada hari raya mereka maka telah kami jelaskan riwayat dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'Anhu, dibawakan hadiah Nairuz (tahun baru Persia) kepadanya, lalu ia menerimanya."
Diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, ada seorang wanita yang meminta kepada Aisyah. Ia berkata, "Pada kami ada wanita-wanita yang menyusui dari kalangan Majusi, mereka memiliki hari raya, lalu mereka memberikan hadiah kepada kami. Maka Aisyah menjawab: Adapun yang dsiembelih untuk acara hari tersebut maka janganlah kalian memakannya. Tetapi makanlah dari hasil tanaman mereka."
Dari Abu Barzah, ia memiliki tetangga orang-orang Majusi, mereka memberikan hadiah kepadanya pada hari Nairuz dan festifal mereka. Kemudian ia berkata kepada keluarganya: 'Jika berbentuk buah-buahan, maka makanlah. Dan yang selain itu maka jangan kalian memakannya.'
Semua ini menunjukkan hari besar keagamaan tidak berpengaruh untuk menolah hadiah dari orang-orang kafir. Bahkan pada dasarnya, menerima hadiah mereka itu hukumnya sama, baik pada saat hari raya mereka atau bukan. Sebabnya, dalam menerima hadiah tidak ada unsur menolong mereka atas kemeriahan syiar-syiar kekafiran mereka.
. . . hari besar keagamaan tidak berpengaruh untuk menolah hadiah dari orang-orang kafir. . .
Ibnu Taimiyah memperingatkan, sembelihan ahli kitab pada dasarnya halal, kecuali apa yang mereka sembelih untuk perayaan hari rayanya, maka tidak boleh memakanya. Beliau berkata, "Sesungguhnya boleh memakan makanan ahli kita pada hari raya mereka, baik dengan jual-beli, hadiah, atau lainnya selain yang mereka sembelih untuk hari raya." (al-Iqtidha': 1/251)
Kemudian beliau menyebutkan riwayat dari Imam Ahmad yang berpendapat, tidak halal memakannya walau tidak disebut nama selain Allah Ta'ala atasnya. Beliau rahimahullah juga menguatkan kesimpulannya tersebut pada riwayat yang berasal dari Aisyah dan Abdullah bin Umar.
Pada ringkasnya, boleh menerima hadiah dari tetangga yang Nashrani pada hari raya mereka dengan beberapa syarat:
Pertama, hadiah ini tidak berupa sembelihan (daging hewan) yang disembelih untuk merayakan hari raya tersebut.
Kedua, hadiah tersebut tidak termasuk yang digunakan untuk bertasyabbuh pada hari raya mereka, seperti lilin, pakain sinterklaus, trompet, dan asesoris natal lainnya.
Ketiga, hendaknya dijelaskan kepada anggota keluarga muslim hakikat aqidah al-wala' dan bara' sehingga tidak tertanam rasa cinta terhadap hari raya ini atau berharap hadiah dari orang Kristen saat natal.
Perlu diingat, dalam menerima hadiah harus diniatkan untuk melunakkan hatinya dan membuat ia tertarik kepada Islam, bukan karena cinta dan sayang kepada mereka. Wallahu A’lam.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/aqidah/2014/12/24/34682/orang-kafir-kasih-hadiah-di-hari-besar-mereka-tak-apaapa-menerimanya/#sthash.qwwDtin3.dpuf

Hadits tentang Bulan Rajab

Al-Hamdulillah, segala puji untuk Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada baginda Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.

اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ

Allaahumma Baarik Lanaa Fii Rajaba Wa Sya'baanaa Wa Ballighnaa Ramadhanaa
"Ya Allah berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya'ban dan sampaikan kami kepada Ramadhan."

Ini adalah doa yang paling masyhur dibaca pada bulan Rajab. Dibaca berulang-ulang dalam forum-forum perkumpulan dan pengajian. Bahkan di tempat tinggal penulis, ia dijadikan sebagai puji-pujian sesudah adzan.

Banyak penceramah yang menganjurkan untuk memperbanyak membaca doa tersebut di bulan ini. Sebagian mereka memperkuat anjuran itu dengan menyebutkan sumbernya dan perawi yang mengeluarkannya. Namun demikian, apakah hadits ini bisa dipegang dan dijadikan hujjah menurut ulama ahli hadits?

Teks Hadits

Terdapat dalam Musnad Imam Ahmad (1/259), no. 2346;


حَدَّثَنَا عَبْد اللَّهِ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ عَنْ زَائِدَةَ بْنِ أَبِي الرُّقَادِ عَنْ زِيَادٍ النُّمَيْرِيِّ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ رَجَبٌ قَالَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبَ وَشَعْبَانَ ، وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَوَكَانَ يَقُولُ لَيْلَةُ الْجُمُعَةِ غَرَّاءُ وَيَوْمُهَا أَزْهَرُ


“Abdullah menyampaikan kepada kami, Ubaidullah bin Umar menyampaikan kepada kami, dari Zaa-idah bin Abi al-Raqqad, dari Ziyad al-Numairi, dari Anas bin Malik berkata: Apabila masuk bulan Rajab, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam membaca:

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبَ وَشَعْبَانَ ، وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ

"Ya Allah berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya'ban dan sampaikan kami kepada Ramadhan." Kemudian beliau berkata, “Pada malam jumatnya ada kemuliaan, dan siangnya ada keagungan"."

Hadits ini juga diriwayatkan Al-Thabrani dalam al-Ausath (4/189), Ibnu Sunni dalam Amal al-Yaum wa al-Lailah (659), Al-Baihaqi menyebutkan dalam Su’ab al-Iman (3/375), Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (6/269), Al-Bazzar dalam Musnadnya (Mukhtasar Zawaidul Bazar li al-Hafidz: 1/285, 402), dari berbagai jalan periwayatan dari Zaidah bin Abu Raqqad, ia berkata, “Telah menceritakan kepadaku Ziyad an Numairi, dari Anas secara marfu’.”

Berkata al-Baihaqi, “Hadits ini hanya diriwayatkan oleh an-Numairi, dan dari dia hanya oleh Zaa-idah. Berkata Bukhari: Zaidah jikalau meriwayaktan dari Ziyad al-Numairi haditsnya munkar.’ An-Numairi ini juga orang yang lemah.

Hadits di atas memiliki 2 perawi yang bermasalah: Pertama, Zaidah bin Abi al-Raqqad. Berikut ini komentar para ulama tentangnya:

- Al-Bukhari mengatakan, “Dia Munkarul hadits.”

- Abu Dawud mengatakan, “Saya tidak mengetahui haditsnya.”

- Al-Nasai mengatakan, “Saya tidak tahu, siapa orang ini”

- Ad-Dzhabi dalam Diwan Ad-Dhu’afa mengatakan, “Tidak bisa dijadikan hujah”

- Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan, “Munkarul hadits”

Kedua, Ziyad bin Abdullah Al-Numairi al-Bashri. Para Ulama mengomentarinya sebagai berikut:

- Yahya bin Ma’in mengatakan, “Hadisnya dhaif.”

-Abu Hatim berkata: Haditsnya ditulis, tapi tidak dijadikan hujjah."

- Abu Ubaid Al-Ajuri mengatakan, “Saya bertanya kepada Abu Dawud tentang Ziyad ini dan beliau mendhaifkannya.”

- Ibnu Hibban dalam Al-Majruhin mengatakan, “Munkarul hadits. Dia meriwayatkan dari Anas beberapa riwayat, yang sama sekali tidak menyamai haditsnya orang yang terpercaya. Tidak boleh berhujjah dengannya.”

- Al-Daruquthni, “Dia tidak kuat.”

- Ibnu Hajar mengatakan, “Dhaif.”

Komentar Ulama Terhadap Hadits Ini

Al-Baihaqi dalam Su’ab al-Iman (3/375) berkata, "Ziyad An-Numairi meriwayatkan sendirian, dan meriwayatkan darinya Zaidah bin Abi al-Raqqad. Al-Bukhari berkata: Zaidah bin Abi al-Raqqad dari Ziyad al-Numairi adalah haditsnya munkar."

Al-Nawawi dalam Al-Adzkar (hal. 274) berkata, "Kami telah meriwayatkannya dalam Hilyah al-Auliya dengan sanad yang dhaif."

Al-Dzahabi dalam Mizan al-I'tidal (3/96), saat menyebutkan biografi Zaidah dan menyebutkan haditsnya, beliau berkomentar: "Juga dhaif."

Al-Haitsami dalam Majma’ Al-Zawaid (2/165) mengatakan, “Al-Bazzar meriwayatkannya dan di dalam sanadnya terdapat Zaidah bin Abi Raqqad, Al-Bukhari berkata: "Munkarul hadits, sementara sekelompok ulama lainnya menyatakan sebagai perawi majhul (tidak dikenal).”

Ibnu 'Alan dalam al-Futuhat al-Rabbaaniyah (4/335) berkata, "Dinukil dari al-Hafid Ibnu Hajar, beliau berkata: Hadits gharib yang dikeluarkan al-Bazzar dan Abu Nu'aim."

Syaikh Ahmad Syakir dalam Takhrij Musnad Imam Ahmad mengatakan, "Sanadnya dhaif.”

Syaikh Syu'aib al-Nauth dalam Takhrijnya terhadap Musnad Imam Ahmad juga mengatakan, “Isnadnya dhaif."

Sementara Syaikh Al-Albani mengutip komentar Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 3:375 yang menyatakan,

تفرد به زياد النميري وعنه زائدة بن أبي الرقاد قال البخاري : زائدة بن أبي الرقاد عن زياد النميري منكر الحديث


"Ziyad An-Numairi sendirian dalam meriwayatkan hadis ini. Sementara Zaidah bin Abi Ruqqad meriwayatkannya dari Ziyad. Bukhari mengatakan: Zaidah bin Abi Ruqqad dari Ziyad An-Numairi, munkarul hadits." (Sumber: www.saaid.net)

Kesimpulan:

Mengambil komentar dari para ulama hadits maka hadits yang menyebutkan doa yang ramai dibaca pada bulan Rajab ini dibangun di atas sanad yang lemah. Sehingga tidak bisa dijadikan sebagai sandaran yang sah untuk berhujjah dan beramal.  Artinya menjadikannya sebagai landasan pengamalan doa khusus di bulan Rajab di atas untuk mendapatkan keutamaan dan pahala besar adalah tidak dibenarkan.

Namun bagi siapa yang meminta kepada Allah agar diberkahi pada bulan Rajab dan Sya'ban serta disampaikan kepada Ramadhan –bukan sebagai ubudiyah khashshah di bulan Rajab ini- maka tidak mengapa. Karena ia berdoa dengan doa yang bersifat umum yang mungkin dikabulan. Maka larangan terhadap amalan hadits di atas adalah menghususkannya di bulan Rajab dan meyakininya sebagai amalan istimewa di bulan ini, yang siapa mengamalkannya berarti ia telah beribadah kepada Allah dengan ibadah khusus di dalamnya dan mendapatkan kemuliaan dan pahala besar dengan membacanya di bulan ini yang tidak bisa didapatkan pada bulan-bulan selainnya.
 Wallahu Ta'ala A'lam.