Namanya adalah Sa`d bin Muadz bin an-Nu`man bin
Imri` al-Qais al-Asyhali al-Anshâri radhiyallâhu'anhu, seorang Sahabat
memiliki kedudukan yang agung. Dia masuk Islam sebelum Hijrah melalui
Ibnu Umair radhiyallâhu'anhu. Ia pernah berkata kepada kaumnya, "Ucapan
laki-laki dan perempuan kalian haram bagiku hingga kalian masuk Islam.
Masuk Islamlah kalian!" Sa`d bin Muadz radhiyallâhu'anhu adalah orang
yang paling agung berkahnya bagi agama Islam.
Sa‘d bin Muadz radhiyallâhu'anhu ikut andil dalam
perang Badar. Beliau terkena lemparan anak panah pada perang Khandaq dan
ia hidup sebulan kemudian, setelah memberikan keputusan hukum bagi bani
Quraidzah. Lukanya semakin membengkak dan wafat pada tahun kelima
Hijrah. Keberadaannya di sisi Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam ikut memberikan kekuatan bagi Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam. Dalam sebuah syair disebutkan:
فَإِنْ يَسْلَمِ السَّعْدَانِ يُصْبِحْ مُـحَمَّدٌ
بِـمَكَّةَ لاَ يَـخْشَى خِلاَفَ الْـمُخَالِفِ
بِـمَكَّةَ لاَ يَـخْشَى خِلاَفَ الْـمُخَالِفِ
Jika dua Sa‘d masuk Islam, maka Muhammad di Mekah tidak takut terhadap perbuatan orang yang menyelisihi.
(maksudnya adalah Sa‘d bin Ubâdah, pembesar suku Khazraj dan Sa‘d bin Muadz pembesar suku Aus)
(maksudnya adalah Sa‘d bin Ubâdah, pembesar suku Khazraj dan Sa‘d bin Muadz pembesar suku Aus)
PERAN SA‘D DALAM MEMBERIKAN KEPUTUSAN TERHADAP BANI QURAIDZAH
Dalam kitab Fathul Bâri, 'Aisyah
radhiyallâhu'anha menceritakan: “Sa`d bin Muâdz radhiyallâhu'anhu
terkena lemparan anak panah pada urat nadi tangannya oleh seorang
Quraisy yang bernama Hibbân bin al-Ariqah/Hibbân bin Qais dari bani
Maîsh bin Amir bin Luay. Lalu Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam pun
membangun tenda untuk Sa`d radhiyallâhu'anhu di masjid, agar beliau bisa
menjenguknya dari dekat.”
Selanjutnya 'Aisyah
radhiyallâhu'anha mengatakan: “Tatkala Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa
sallam pulang dari Khandaq, Beliau meletakkan senjatanya lalu mandi.
Kemudian datanglah seseorang (Jibril).”
Dalam riwayat lain: "Seseorang
memberikan salam kepada kami. Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam
terkejut lalu berdiri, aku juga berdiri. Ternyata dia adalah Dihyah al
Kalbi radhiyallâhu'anhu. Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam
bersabda: “Ini adalah Jibril.”" (Malaikat Jibril 'alaihissalam
kadang-kadang menemui Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam dalam
bentuk sahabat Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam yang bernama
Dihyah al Kalbi, pada waktu itu 'Aisyah radhiyallâhu'anha menyangka yang
datang adalah Dihyah al Kalbi radhiyallâhu'anhu).
Dalam riwayat lain Rasûlullâh
shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda: “Ia datang kepadaku untuk
menyuruhku pergi kepada bani Quraidzah.”
Kemudian Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam membersihkan debu-debu yang ada di muka Jibril 'alaihissalam. Jibril 'alaihissalam
berkata, “Engkau telah meletakkan senjatamu. Demi Allâh Ta'âla, aku
belum meletakkan senjataku. Keluarlah kepada mereka!” Nabi shallallâhu
'alaihi wa sallam bertanya, “Kemana?””
Kemudian Jibril mengisyaratkan
kepada bani Quraizhah. Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam pun
keluar dan mengepung mereka selama 15 atau 25 malam. (lihat al-Fath,
9/212 -216). Pengepungan tersebut membuat mereka (bani Quraizhah) merasa
berat dan Allâh Ta'âla juga menanamkan rasa takut ke dalam hati mereka.
Dalam kondisi demikian, yaitu mereka
merasa yakin bahwa Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam dan
pasukannya tidak akan pergi meninggalkan mereka; pemimpin mereka Ka‘b
bin Asad berkata kepada mereka. “Wahai kaum Yahudi! Sesungguhnya keadaan
kalian adalah seperti yang kalian lihat sekarang. Aku tawarkan kepada
kalian tiga hal, pilihlah mana yang kalian suka!”
Mereka bertanya: “Apa saja itu”?
Ka‘b menjawab: “Pertama: kita
mengikuti lelaki ini (Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam), dan
beriman kepadanya. Demi Allah, kalian sudah tahu bahwa dia adalah
seorang nabi yang diutus bagi kalian. Sungguh, dialah lelaki yang telah
disebutkan dalam kitab kalian. Jika kalian bersedia, maka darah, harta
benda, anak-anak dan istri-isri kalian akan aman.”
Mereka menjawab: “Kami tidak akan meninggalkan hukum Taurat selamanya dan kami tidak akan mengambil hukum selainnya.”
Lalu Ka‘b berkata: “Jika kalian
tidak setuju dengan usulan ini, maka usulan kedua: mari kita bunuh
anak-anak dan istri kita. Kemudian kita keluar mengangkat pedang melawan
Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam dan para Sahabatnya. Kita tidak
akan meninggalkan beban di belakang kita, hingga Allah memberi keputusan
antara kita dan mereka. Jika kita binasa, maka selesailah urusannya !
Kita tidak meninggalkan keturunan yang kita khawatirkan. Dan jika kita
menang, maka, maka demi Allah, kalian pasti akan mendapatkan wanita dan
anak-anak lagi.”
Mereka bertanya: “Kita akan bunuh
orang-orang lemah ini ?! Jika kita bunuh mereka, maka kesenangan hidup
apalagi bagi kita setelah kehilangan mereka?”
Ka‘b menjawab: “Jika kalian enggan
dengan ini, maka usulan ketiga: pada Sabtu malam, mungkin Muhammad
shallallâhu 'alaihi wa sallam dan para Sahabatnya akan memberi keamanan
kepada kita. Maka, menyerahlah! Mudah-mudahan kita bisa mengintai
Muhammad dan pasukannya.
Mereka mengatakan: “(jika demikian),
berarti kita mengotori hari Sabtu kita dan melakukan suatu yang tidak
pernah dilakukan oleh pendahulu kita kecuali orang yang telah engkau
tahu, sehingga mereka tertimpa musibah yang sudah kita pahami kita
bersama.”
Kemudian Ka‘b berkata dengan nada
tinggi karena marah: “Sejak kalian dilahirkan, kalian tidak pernah
memiliki pendirian yang teguh walau hanya semalam.”
Akhirnya, kemudian mereka mengirimkan utusan kepada Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam
dengan pesan: “Utuslah Abu Lubâbah bin Abdul Mundzir, saudara bani Auf
agar menemui kami. Kami akan meminta pendapatnya.” Dulu mereka (bani
Quraizhah) adalah sekutu suku Aus.
Kemudian Rasûlullâh shallallâhu
'alaihi wa sallam mengutusnya. Saat melihat kedatangan Abu Lubâbah,
semua orang yahudi yang laki-laki bangkit dan mengerumuninya sedangkan
para wanita dan anak-anak menangis dihadapannya. Abu lubâbah sangat iba
melihat keadaan mereka. Mereka berkata: “Wahai Abu Lubâbah, apakah kami
harus tunduk kepada keputusan Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam?”
Dia menjawab: “Begitulah” sambil
memberi isyarat dengan tangannya yang diletakkan di leher yang maksudnya
: jika kalian tunduk kepada hukum Rasulullah, kalian akan dihukum mati.
Setelah itu Abu Lubâbah sadar bahwa
dia telah mengkhianati Allâh Ta'âla dan Rasul-Nya. Seketika itu dia
berbalik dan tidak menemui Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam tapi
langsung mengikat tubuhnya di salah satu tiang masjid. Ia berkata: “Aku
tidak akan meninggalkan tempatku hingga Allâh Ta'âla memberi taubat
kepadaku terhadap semua yang telah aku lakukan.” (lihat as-Siratun
Nabawiyah, Ibnu Hisyam hal. 793- 794).
Ibnu Ishâk rahimahullâh
menyebutkan: “Tatkala pengepungan sudah sangat ketat, mereka pun
terpaksa tunduk kepada hukum Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam.”
Melihat kondisi ini suku Aus berkata kepada Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam : "Wahai Rasûlullâh
engkau telah memperlakukan sekutu Khazraj dengan perlakuan yang telah
engkau putuskan (engkau maafkan, kenapa engkau tidak memaafkan bani
Quraizhah -Red).”
Beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda: “Apakah kalian tidak rela salah seorang diantara kalian menetapkan hukuman buat bani Quraizhah?”
Mereka menjawab: “Ya”.
Maka beliau berkata : “Serahkanlah kepada Sa`d.”
Dalam banyak kitab sirah disebutkan
bahwa mereka tunduk kepada hukum Sa‘d radhiyallâhu'anhu; dan telah
disepakati bahwa mereka telah tunduk kepada Nabi shallallâhu 'alaihi wa
sallam sebelum tunduk kepada hukum Sa‘d radhiyallâhu'anhu.
Alqamah bin Waqash radhiyallâhu'anhu
meriwayatkan bahwa tatkala kondisi dan situasi terasa berat bagi
mereka, seseorang memerintahkan: “Tunduklah kalian kepada keputusan
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam!”
Tatkala mereka meminta petunjuk
kepada Abu Lubâbah, ia menjawab: “Kita tunduk kepada hukum Sa‘d bin
Muâdz radhiyallâhu'anhu.“ Setelah itu Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam
mengembalikan hukum kepada Sa‘d bin Muâdz radhiyallâhu'anhu.
Kemudian Sa‘d radhiyallâhu'anhu
berkata, “Dalam hal ini aku memutuskan agar para prajurit bani Quraizhah
dibunuh; para wanita dan anak-anak ditawan dan harta bendanya
dibagi-bagikan.”
Hisyam (seorang perawi) mengatakan:
“Ayahku menceritakan kepadaku dari 'Aisyah radhiyallâhu'anha bahwa Sa`d
radhiyallâhu'anhu pernah berdoa kepada Allâh Ta'âla, “Ya Allâh Ta'âla,
sesungguhnya Engkau telah mengetahui bahwa tidak ada suatu kaum pun yang
lebih suka aku perangi dari pada mereka yang telah mendustakan dan
mengusir Rasul-Mu. Ya Allâh Ta'âla, aku mengira Engkau telah
menghentikan peperangan antara kami dan mereka. Jika masih ada lagi
peperangan dengan mereka, maka panjangkanlah usiaku hingga aku bisa
berperang karena-Mu. Dan jika Engkau telah menghentikan peperangan, maka
parahkanlah lukaku dan takdirkanlah kematianku saat itu.”
Kemudian lukanya pun bertambah
parah. Tidak ada sesuatu yang mengejutkan penghuni kemah bani Ghifar
(penghuni masjid) tatkala itu, melainkan darah yang terus mengalir
menuju mereka. Mereka bertanya: “Wahai penghuni tenda, apa ini yang
mengalir menuju kami dari arah kalian?” Tiba-tiba darah itu mengalir
semakin cepat dan Sa`d radhiyallâhu'anhu pun meninggal dunia. (lihat
al-Fath 9/213).
Dalam riwayat disebutkan bahwa
ketika jenazahnya berada di hadapan manusia, orang-orang munafikin
mengatakan: “Sungguh ringan sekali jenazahnya.” Kemudian Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam mengatakan: “Sesungguhnya para malaikat membawa jenazahnya, dan arsy Allâh Ta'âla bergoncang karenanya.”
Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
اهْتَزَّ الْعَرْشُ لِـمَوْتِ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ
Singgasana Allâh Ta'âla bergoncang karena kematian Sa‘d bin Muâdz
(HR al-Bukhâri)
(HR al-Bukhâri)