Para ulama berselisih pendapat tentang basmallah pada
awal surat-surat di dalam al-Qur‘an, apakah termasuk al-Qur‘an dan
termasuk surat itu, ataukah tidak?
Yang rajih (lebih kuat) –wallahu a’lam– bahwa basmallâh pada awal semua surat di dalam al-Qur‘an termasuk ayat al-Qur‘an, karena telah ditetapkan dan ditulis di dalam mushhaf. Dan umat juga telah sepakat, bahwa semua
yang ditulis para sahabat di antara dua sampul mushhaf itu adalah
al-Qur‘an.
Dan juga (pendapat yang rajih), bahwa basmallâh di awal surat itu tidak termasuk bagian dari surat tersebut, termasuk pada basmallâh surat al-Fatihah. Sehingga ayat pertama dalam surat al-Fatihah adalah الْـحَمْدُ لِلَّهِ رِبِّ الْعَالَمِيْنَ sedangkan ayat keenam adalah صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ, dan ayat ketujuh adalah غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَ لاَ الضَّآلِّيْنَ.
Para ulama juga berselisih, apakah imam mengeraskan basmallâh ketika dalam shalat jahriyah? Dalam permasalahan ini terdapat dua pendapat.
Pertama, disunnahkan dibaca pelan.
Ini merupakan pendapat Khulafaur Rasyidin: Abu Bakar, Umar, ‘Utsman,
Ali, dan sahabat Ibnu Mas’ud, Ibnu Zubair, dan ‘Ammar
radhiyallâhu'anhum. Juga pendapat al Auza’i, Sufyan ats-Tsauri, Ibnul
Mubarak, Hanabilah dan Ash-habur Ra’yi. Ini adalah pendapat jumhur
ulama.
Begitu pula dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh, beliau memilih pendapat ini.
Kedua, disunnahkan dibaca keras. Pendapat ini masyhur sebagai pendapat Imam Syafi’i.
Yang rajih (kuat) adalah pendapat pertama, karena
dalil-dalilnya shahih dan tegas. Adapun pendapat kedua, sebagian
dalilnya dha’if, sedangkan yang shahih tidak sharih (tegas) menunjukkan
pendapat tersebut.
Berikut ini di antara dalil pendapat pertama :
Dari Anas bin Malik, bahwa Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, Abu Bakar, dan
Umar, (dan ‘Utsman), mereka semua membuka shalat dengan الْـحَمْدُ لِلَّهِ رِبِّ الْعَالَمِيْنَ.
(HR Bukhari, no. 743; Muslim, no. 399;
tambahan “dan Utsman” pada riwayat Tirmidzi, no. 246)
Umar, (dan ‘Utsman), mereka semua membuka shalat dengan الْـحَمْدُ لِلَّهِ رِبِّ الْعَالَمِيْنَ.
(HR Bukhari, no. 743; Muslim, no. 399;
tambahan “dan Utsman” pada riwayat Tirmidzi, no. 246)
Setelah meriwayatkan hadits ini, Imam Tirmidzi rahimahullâh mengatakan:
“Amalan ini dilakukan oleh para sahabat nabi radhiyallâhu'anhum, dan para tabi’in setelah mereka. Mereka membuka bacaan dengan الْـحَمْدُ لِلَّهِ رِبِّ الْعَالَمِيْنَ.
Tetapi (Imam) Syafi’i berkata : ’Makna hadits ini adalah, bahwa Nabi
Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, Abu Bakar, Umar, dan ‘Utsman, mereka semua
membuka bacaan (shalat) dengan membaca al-Fatihah sebelum surat. Dan
maknanya, bukanlah mereka tidak membaca . (Imam) Syafi’i berpendapat, (imam) memulai dengan dan mengeraskannya, jika dia mengeraskan bacaan’.”
(Sunan Tirmidzi, no. 246)
(Sunan Tirmidzi, no. 246)
Akan tetapi, pendapat Imam Syafi’i rahimahullâh ini terbantahkan dengan riwayat lain, yang menegaskan bahwa mereka itu benar-benar memulai bacaan dengan hamdallah, dan tidak dengan basmallah. Yaitu tambahan yang ada pada riwayat Imam Muslim :
Dan mereka tidak menyebutkan pada awal bacaan (al Fatihah, Red),
dan tidak pula pada akhir bacaan (al Fatihah, yaitu awal surat setelahnya, Red)
(HR Muslim, no. 399)
dan tidak pula pada akhir bacaan (al Fatihah, yaitu awal surat setelahnya, Red)
(HR Muslim, no. 399)
Juga pada riwayat yang lain, lebih tegas lagi disebutkan :
Dari Anas bin Malik, dia berkata:
“Aku shalat bersama Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam,
dan bersama Abu Bakar, Umar, ‘Utsman.
Aku tidak mendengar seorangpun dari mereka membaca .”
(HR Muslim, no. 399)
“Aku shalat bersama Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam,
dan bersama Abu Bakar, Umar, ‘Utsman.
Aku tidak mendengar seorangpun dari mereka membaca .”
(HR Muslim, no. 399)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh, setelah
menjelaskan masalah ini secara panjang lebar, dan memilih bahwa menurut
Sunnah adalah membaca basmallah dengan pelan, beliau rahimahullâh
berkata:
“Bersamaan dengan ini,
maka yang benar (bacaan) yang tidak dikeraskan. Terkadang disyari’atkan
untuk dikeraskan, karena mashlahat yang lebih kuat. Maka terkadang
disyari’atkan bagi imam (mengeraskannya, Red) sebagai misal untuk
pengajaran kepada makmum. Dan terkadang makmum boleh mengeraskan dengan
sedikit kalimat. Seseorang juga boleh meninggalkan sesuatu yang lebih
utama untuk merekatkan hati-hati (manusia) dan menyatukan kalimat,
karena takut menjauhnya (manusia) dari hal yang baik”. (Majmu’ Fatawa, 22/436)