Wahai manusia,
hiasilah hubungan dengan kerabatmu untuk mencari ridha Allâh Ta'ala.
Dengan bersilaturahmi, keberkahan umur dan rizki akan di raih dan
derajat mulia akan tercapai di sisi Allâh Ta'âla. Ketahuilah, silaturahmi dengan sanak kerabat dan famili merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allâh Ta'ala.
Dari Anas bin Malik radhiyallâhu'anhu, bahwa Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
Barangsiapa yang ingin diluaskan rizkinya dan ditambah umurnya,
maka hendaklah melakukan silaturrahmi
Lihat Shahih Abu Dawud (1486), Shahih Adabul Mufrad (56) Shahih Muslim, Bab Al Birri Washshilah, hadits ke-20.
Silaturrahmi yang hakiki bukanlah menyambung hubungan
baik terhadap orang-orang yang telah berbuat baik terhadap kita. Namun,
silaturrahmi yang sebenarnya ialah menyambung hubungan dengan
orang-orang yang telah memutuskan tali silaturahmi dengan kita.
Dari Abdullah bin Amr radhiyallâhu'anhu, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
Sesungguhnya bukanlah orang yang menyambung silaturahmi
adalah orang yang membalas kebaikan,
namun orang yang menyambung silaturahmi adalah
orang yang menyambung hubungan
dengan orang yang telah memutuskan silaturahmi.
ShahihAdabil Mufrad (68), Bab Laisal Wasil Bil Mukafi’
TRADISI 'MUDIK LEBARAN' DALAM TINJUAN ISLAM
Sebagian besar kaum Muslimin di negeri kita mengira,
bahwa mudik lebaran ada kaitannya dengan ajaran Islam, karena terkait
dengan ibadah bulan Ramadhan. Sehingga banyak yang lebih antusias
menyambut mudik lebaran daripada mengejar pahala puasa dan lailatul qadr.
Dengan berbagai macam persiapan, baik tenaga, finansial, kendaraan,
pakaian dan oleh-oleh perkotaan. Ditambah lagi dengan gengsi bercampur
pamer, mewarnai gaya mudik. Kadang dengan terpaksa harus menguras kocek
secara berlebihan, bahkan sampai harus berhutang.
Menjelang Hari Raya 'Iedul Fitri, kantor pegadaian
menjadi sebuah tempat yang paling ramai dipadati pengunjung yang ingin
berhutang. Padahal yang benar, mudik tidak ada kaitannya dengan ajaran
Islam karena tidak ada satu perintahpun baik dari Al-Qur’an maupun As
Sunnah yang menyatakan bahwa, setelah menjalankan ibadah Ramadhan harus
melakukan acara silaturahmi untuk kangen-kangenan dan maaf-maafan,
karena silaturahmi bisa dilakukan kapan saja sesuai kebutuhan dan
kondisi.
Apabila yang dimaksud mudik lebaran sebagai bentuk
kegiatan untuk memanfaatkan momentum dan kesempatan untuk menjernihkan
suasana keruh dan hubungan yang retak, sementara tidak ada kesempatan
yang baik kecuali hanya waktu lebaran, maka demikian itu boleh-boleh
saja. Namun, bila sudah menjadi suatu yang lazim dan dipaksakan, serta
diyakini sebagai bentuk kebiasaan yang memiliki kaitan dengan ajaran
Islam, atau disebut dengan istilah tradisi Islami, maka demikian itu
bisa menjadi bid’ah dan menciptakan tradisi yang batil dalam ajaran
Islam.
Sebab seluruh macam tradisi dan kebiasaan yang tidak
bersandar pada petunjuk syariat merupakan perkara bid’ah dan tertolak,
sebagaimana sabda Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam:
Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allâh,
patuh dan taat walaupun dipimpin budak habasyi.
Karena siapa yang masih hidup dari kalian, akan melihat perselisihan yang banyak.
Maka berpegang teguhlah kepada sunnahku
dan sunnah para khulafaur rasyidin yang memberi petunjuk.
Berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dengan gigi geraham kalian.
Waspadalah terhadap perkara-perkara baru (bid’ah),
karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat.
(Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)